6 Mei 2017
23.16 WIB
Gadis itu berada di
titik terendah.
Setelah dengan kemampuan
yang tersisa dia mencoba,
Dan berakhir dengan
kecewa.
Semuanya berputar dalam
kepala kecilnya.
Segala kejadian.
Segala kegagalan,
Yang kemudian disusul
dengan hantaman rasa bersalah.
Yang datang menusuknya
tanpa belas kasihan.
Kemudian segalanya
bertambah parah.
Ketika keadaannya
memburuk.
Membuatnya tak bisa
bergerak dan hanya terbaring diam di atas tempat tidur.
Membuatnya kembali...
menjadi gadis yang tak berdaya.
Ini semua mulai
memuakkan.
Dia ingin menangis dan
menceritakan segalanya pada seseorang.
Atau siapapun.
Siapapun yang dirasanya
cukup aman untuk diberitahu tentang ceritanya yang menyakitkan.
Tuhan adalah jawaban
yang tepat yang dia butuhkan.
Namun lagi-lagi,
keadaan menikamnya. Dengan tega berkhianat pada dirinya.
Keadaannya begitu
ambigu dan memusingkan.
Ketika dunia berkhianat
dan dengan tega mencampakkannya,
Dia tahu dia hanya
punya satu tujuan.
Tuhan. Allah-nya.
Tapi lihatlah. Dia
tidak bisa. Benar-benar tidak bisa.
Keadaanya tidak cukup
pantas untuk bertemu Tuhan sekarang.
Jadi dia menahan
tangisnya.
Mencoba sekali lagi
menguatkan dirinya.
Nanti, saat keadaannya
sudah cukup pantas untuk mengadu pada Allah-nya,
Dia akan menumpahkan
segalanya.
Saat ini biarlah
kelopak matanya berjuang.
Menahan keras butiran
hujan yang hendak mendatangkan badai di wajahnya.
Mungkin tidak begitu
sulit.
Jika dia tidak
sendirian.
Dan dia memang tidak
sendirian.
Ada “Allah-nya” yang
menemani.
She’s not alone. Definitely
not.