Asslamu'alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh..
Selamat malam semuaaa ^0^
Malam ini saya mau bagi-bagi karya saya ketika SMA (lagi).-hahaha, maafkan saya, entah kenapa sebagian besar karya saya tercipta ketika SMA ._.
Hmm, kali ini saya mau share sebuah naskah drama. Ini sebenarnya adalah tugas untuk pelajaran... -saya lupa pelajaran apaan- mungkin bahasa Indonesia. Saya nggak ingat ._.
Pokoknya ini drama yang membutuhkan sembilan tokoh dan satu narator. Jadi totalnya sepuluh orang. Jika Rainers semua butuh naskah drama komedi dengan tokoh 10 orang, atau jika narator dirasa tidak terlalu penting, 9 orang juga cukup. Apabila Rainers semua butuh naskah dengan 10 atau 9 orang tokoh, maka naskah ini bisa dijadikan opsi pilihan..
Ah, apapun yang tidak baik dari naskah ini mohon jangan ditiru dan dilakukan di dunia nyata.
Oke? Selamat membaca :)
Emansipasi Bawang Putih
Naskah
Drama
Di sebuah desa bernama Desa
Delidapur, hiduplah sebuah keluarga yang penuh dengan ketidakharmonisan. Setiap
harinya rumah itu diisi oleh pertengkaran-pertengkaran yang tidak berguna. Pada
suatu pagi yang damai, teriakan Mama Bombay dan anaknya Bawang Merah kembali
bergema untuk yang kesekian kalinya di rumah itu. Menggelegar, seperti suara
halilintar.
Mama
Bombay : “Bawang Putih?!”
Bawang
Putih : “Iya, Tante?”
(Menyahut dengan suara pelan dari dalam kamar.)
Bawang
Merah :
“Bawang Putih?!” (Meniru gaya Ibunya.)
Bawang Putih : “Iya. Sebentar lagi aku keluar
kamar.” (Kembali bergelung dalam selimutnya yang hangat.)
Mama
Bombay : “Bawang Putih?!” (Dengan suara lebih keras.)
Bawang Putih : “Iya, iya. Aku udah mau keluar
kamar kok.” (Menutup wajahnya dengan selimut.)
Mama Bombay : “Bawang Putih, kalau dalam
hitungan ketiga kamu nggak keluar dari kamar, Tante bakalan bikin kamu jadi
bawang goreng!”
Bawang Putih : (Tidur semakin nyenyak.)
Mama Bombay : “Satu... dua... lima... enam..”
Bawang Merah : “Aduhh, Mama gimana siih? Habis
dua itu empat, mama, bukan lima.” (Berkacak pinggang dengan gaya sok tahu.)
Papa Rawit : “Merah, habis dua itu tiga,
bukan empat. Kamu ini gimana siih?” (Menyahut cuek sambil membaca koran.)
Bawang Merah : “Papa iihh, nggak gaul. Sekarang
udah nggak jaman lagi hitungan kayak gitu. Kata guru Merah, kita ini sedang
dalam zaman globalisasi. Di zaman globalisasi itu semuanya mulai berkembang.
Jadi hitungannya juga harus berkembang doonng. Masa’ setelah dua, tiga melulu.
Berkembang dong, jadi empat.”
Mama Pray : “Merah, kamu itu salah
pengertian. Maksud guru kamu yang berkembang itu teknologi. Bukan
hitung-hitungan kayak gitu.” (Datang sambil membawa kopi.)
Mama Bombay : “Aaaahhhh udah deh, daripada kamu
ceramahin anak saya, mending kamu ceramahin anak kamu. Udah siang kok masih
tidur. Anak gadis macam apa itu?”
Bawang Putih : “Aku udah bangun dari tadi kok
Tante.” (Muncul tiba-tiba dengan senyum lebar.)
Mama Pray : “Nah, karena anak saya udah
nggak perlu diceramahin lagi, yuk kita lanjutin ceramahin anak kamu.”
Bawang Merah : “Tante Pray apaan siih. Ayo Ma.
Kita pergi.”
Mama Bombay : “Ayo.” (Pergi dari ruang tengah.)
***
Pada
suatu pagi, Papa Rawit pergi dengan terburu-buru untuk mengurus suatu masalah
di kantornya. Sedangkan Mama Pray pergi ke pasar untuk membeli perlengkapan
dapur. Tinggallah Bang Putih bersama Bawang Merah dan Ibunya, Si Mama Bombay di
rumah itu. Karena ingin mengerjai Bawang Putih, mereka sengaja mengotori lantai
rumah. Agar mereka bisa mencari alasan untuk menyuruh Bawang Putih bekerja.
Mama
Bombay dan Bawang Merah pun segera mengotori lantai rumah. Setelah selesai,
mereka berteriak memanggil Bawang Putih yang tengah bersantai di kamarnya.
Mama
Bombay : “Bawang Putih?”
Bawang
Putih : “Iya Tante? Ada
apa?” (Datang menghampiri.)
Mama Bombay : “Coba deh kamu liat, lantai rumah
kita jorok banget. Seperti kapal terbelah.”
Bawang
Putih : “Kapal pecah maksud
Tante?”
Mama
Bombay : “Ah, itu kan sama aja. Pokonya jangan lupa kamu
bersihin, ya?”
Bawang
Putih : “Loh? Aku? Kok aku
sih Tante? Kan ada Bawang Merah?”
Bawang Merah : “Aduuhhh, sori ya. Kami nggak
bisa bantuin. Sebentar lagi jemputan kami datang. Kami lagi buru-buru. Udah
waktunya nih.” (Sambil melihat jam tangan.)
Bawang Putih : “Loooh??? Malaikat Israil udah mau
jemput kalian? Ya ampuuuun. Ternyata Malaikat Israil baik banget, yaaa?”
Mama Bombay : “Hush. Bukan itu maksudnya. Maksud
kami, taksi pesanan kami bentar lagi mau jemput. Soalnya udah waktunya kami
buat pergi ke salon.”
Bawang Putih : “Yaahhh. Sayang banget. Kirain
Malaikat Israil yang bakalan jemput.”
Mama Bombay :
(Mengepalkan tangannya geram.) “Pokoknya, kami pulang nanti, rumah harus
udah bersih. Okee?”
Bawang Putih : “Tapi Tante, gimana cara
bersihinnya?”
Mama Bombay : “Terserah kamu mau kamu apain.
Tante nggak mau tahu. Ayo Merah kita pergi.”
Bawang Merah : “Ayo Ma.” (Pergi.)
Bawang Putih : “Uuuhh.. menyebalkan. Masa aku
yang disuruh bersihin sih?” (Mengomel sambil membersihkan lantai.)
Tiba-tiba datang
seorang Ayah Peri yang akrab disapa sebagai Peri Paprika.
Peri Paprika : “Kalau mengerjakan sesuatu
nggak boleh mengeluh, Putih. Kita harus melakukan pekerjaan dengan ikhlas.”
Bawang Putih : “(Kaget.) “Siapa kamu?”
Peri Parika : “Aku Peri Paprika. Mulai
sekarang aku akan jadi Ayah Peri kamu.”
Bawang Putih : “Maaf Peri Paprika. Tapi aku
nggak suka sama paprika. Rasanya nggak enak. Boleh tukar peri nggak? Jadi Peri
Coklat mungkin?”
Peri Paprika : “Hei. Udah untung aku mau
jadi Peri kamu.”
Bawang Putih : “Memangnya siapa yang minta
kamu jadi Peri aku?” (Ngomel dengan suara pelan, namun tetap terdengar oleh
Peri Paprika.)
Peri Paprika : “Aku ngambek niih.”
Bawang Putih : “Iya deh, iya. Maaf Peri
Paprika. Jangan ngambek dong. Ntar aku ngambekin balek lho.”
Peri Paprika : “Memangnya kamu punya waktu
buat ngambek? Tuh liat. Kerjaan kamu masih belum beres. Selesaian dulu tugas
kamu baru boleh ngambek.”
Bawang Putih : “Iya, iya.” (Membersihan lantai
dengan ogah-ogahan.)
Peri Parika : “Putih, kamu nggak denger
ya apa yang saya katakan tadi. Kerja itu
harus ikhlas.”
Bawang Putih : “Iya iya. Putih ikhlas ya Allah.
Beneran. Ikhlas kok.” (Membersihkan lantai dengan asal-asalan.)
Peri Paprika : “Begitu ya yang kamu sebut
ikhlas? Coba saya mau lihat kerjaan kamu kalau tidak ikhlas seperti apa?”
Bawang Putih : “Seperti ini.” (Membersihkan
lantai dengan lembut.)
Peri Paprika : (Menepuk jidat.) “Udah ah,
sebentar lagi saya ada meeting dengan peri-peri yang lain. Bye Putih.”
(Menghilang)
Bawang Putih : “Jadi buat apaan dia datang
kemari? Cuma buat ceramah doang? Kok nggak kayak peri yang di tivi-tivi, ya?
Kalau peri yang di tivi pasti bakalan bantuin bersihin rumah. Yang tadi itu
peri atau bukan siih?”
Ponsel Bawang
Putih : “Kringg... kriing.”
Bawang Putih : “Hallo? Haah? Serius? Ya udah
aku ke sana sekarang ya.” (Meninggalkan lantai yang masiih kotor.)
***
Papa Rawit : “Merah, Putih. Coba liat
deh. Papa bawain kalian—ya ampuun.” (Syok lihat lantai yang masih kotor.)
Bawang Putih : “Loh, Papa udah pulang? Kapan
nyampenya?” (Buru-buru memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.)
Papa Rawit : “Baru aja. Putih, rumah kok
bisa kotor kayak gini?”
Bawang Putih : “Maaf, Pa. Putih juga nggak
tahu. Tadi Putih udah bersihin sebagian. Tapi temen Putih kecelakaan. Jadi
nggak bisa nerusin. Minta tolong sama Merah aja ya, Pa. Bentar lagi dia pulang
kok.”
Papa Rawit : “Ya udah. Hati-hati di
jalan, ya.”
Bawang Putih : “Iya. Putih pergi dulu ya, Pa.
Assalamu’alaikum.” (Berlari dengan terburu-buru.)
***
Beberapa
saat kemudian Bawang Merah dan Mama Pray pulang dari salon. Mereka
teheran-heran ketika melihat lantai rumah masih dalam keadaan kotor.
Papa Rawit : “Akhirnya kalian pulang
juga. Merah bersihin lantai rumah ya. Lantainya jorok banget.”
Mama Bombay : “Loh? Putih mana, Pa?” (Syok.)
Papa Rawit : “Tadi dia pergi. Katanya
ada temannya yang kecelakaan. Merah. Jangan lupa dibersihin. Bombay, bantuin
anak kamu bersih-bersih.”
Bawang Merah : “Iya Pa.” (Lesu.)
Mama Bombay : (Mengangguk lesu.)
Papa Rawit : (Pergi ke Kamar.)
Mama Bombay : “Kenapa rencana kamu jadi seperti
ini?” (Sambil membersihkan lantai.)
Bawang Merah : “Mana Merah tahu. Tanyaian aja
sama rumput yang bergoyang.”
Mama Bombay : “Kamu kira mama gila, nanya-nanya
sama rumput..”
Bawang Merah : “Ah Mama ini gimana sih? Itukan
hanya kalimat kiasan.”
Mama Bombay : “Udahlah, lebih baik kamu bersihin
ini semua. Mama capek.”
Beberapa saat kemudian..
Bawang Merah : “Hufft. Akhirnya selesai juga.”
(Duduk dengan wajah letih.)
Mama Pray : “Assalamu’alaikum. Loh? Bombay? Merah? Kenapa
pada ngos-ngosan gitu? Habis main petak umpet?”
Bawang Merah : “Tante kok baru datang sekarang
sih? Seharusnya dari tadi doong. Jadi kan bisa bantuin kita bersihin rumah..”
Mama Pray : “Alhamdulillah Ya Allah, untung aja tadi di jalan
macet. Jadi baru bisa nyampe rumahnya sekarang. Makasih ya Allah.” (Berlalu
Pergi.)
***
Suatu
sore, di sebuah kerajaan yang makmur dan tentram, sebuah keluarga sedang
mendiskusikan sesuatu yang berhubungan dengan kerjaan. Kerajaan itu bernama
Kerajaan Delimakmur. Sang Raja tertinggi bernama Raja Rica. Dia memiliki dua
orang putra yang bernama Pangeran Kencur dan Pangeran Jahe. Sang Raja merasa
gelisah, sebab kedua orang belum juga memiliki pasangan hidup. Karena itulah
Raja Rica mengajak keduanya berkumpul untuk mendiskusikan sesuatu.
Raja Rica : “Wahai anak-anakku.
Kalian berdua sudah besar. Tidakkah kalian ingin segera menikah? Kamu Kencur,
kamu adalah anak tertua. Seharusnya kamu sudah menikah sekarang.”
Pangeran Kencur : “Tentu saja aku ingin menikah Ayah,
tapi tidak ada seorang gadis pun yang bisa menarik perhatianku.”
Pangeran Jahe : “Sebenarnya bukan begitu Ayah.
Bukannya tidak ada gadis yang bisa menarik perhatiannya. Tapi, para gadis itu
yang tidak tertarik padanya.”
Pangeran Kencur : “Yeeeee... memangnya ada gadis yang
mau sama kamu?”
Pangeran Jahe : “Ada.”
Pangeran Kencur : “Siapa?”
Pengeran Jahe : “Tuh, tukang cuci piring samping
rumah.”
Pangeran Kencur : “Oohh. Kirain Dijah Yellow.”
Pangeran Jahe : “Apa kamu bilang?!” (Melepaskan
sepatu dan bersiap-siap melempar Kencur.)
Raja Rica : “Sudah. Sudah. Ayah
mengumpulkan kalian di sini bukan untuk berdebat. Tapi ayah ingin memberitahu,
bahwa Ayah akan mengenalkan kalian pada gadis dari desa seberang. Ayah mendapat
informasi bahwa dia adalah gadis yang baik.”
Pangeran Kencur : “Beneran, Yah?” (Antusias.)
Papa Rica : “Iya. Bener. Besok pagi
kita akan pergi ke rumahnya.”
***
Keesokan
harinya, Raja Rica dan Pengeran Kencur, pergi ke desa Delidapur untuk bertemu
dengan keluarga Bawang Merah dan Bawang Putih. Tapi sayangnya Mama Bombay dan
Bawang Merah merencanakan sesuatu yang jahat. Mereka mengurung Putih dan
meninggalkannya sendirian. Tidak ada yang bisa menghibur Putih, sebab Papa
Rawit dan Mama Pray sedang ada keperluan di luar. Mereka berdua tidak tahu,
bahwa keluarga kerajaan akan datang mengunjungi rumahnya.
Tapi
Mama Bombay dan Bawang Merah tidak tahu, bahwa peri Paprika datang menghibur
Bawang Putih.
Peri
Paprika : “Putih, kenapa
kamu menangis?”
Bawang Putih : “Tante Bombay dan Bawang Merah
mengurungku dan melarangku untuk bertemu dengan Pangeran Kencur.”
Peri Parika : “Sudahlah. Jangan bersedih.
Kalau Pangeran kencur memang jodoh kamu, pasti kamu akan bersama dengannya.”
Bawang Putih : “Iya, tapi kapan?”
Peri Paprika : “Tenang saja. Akan tiba
saatnya.”
Bawang Putih : “Aku maunya sekarang.” (Merengek.)
Peri Paprika : “Jangan begitu dong. Sebagai
manusia kita harus bisa bersabar, ingat
sabar itu indah.”
Bawang Putih : “Iya. Makasih ya Peri Paprika.
Ternyata Peri Paprika baik binggo deh.” (Senyum.)
Peri Paprika : “Iya dong. Peri Paprika.
Ulalaa.” (Menghilang.)
***
Keesokan
harinya, Raja Rica dan Pangeran Kencur datang lagi untuk membicarakan
pernikahan. Ditengah perbincangan mengenai pernikahan, Pangeran Jahe datang ke
rumah Bawang Merah dan Bawang Putih dan memberitahukan bahwa dia merasa bosan
berada di istana, lagi pula dia penasaran pada gadis yang akan menikah dengan
kakaknya. Tapi, kedatangan Pangeran Jahe, malah membuat Bawang Merah terpesona.
Raja Rica : “Begini Pak Rawit.
Kedatangan kami ke mari ingin membicarakan masalah pernikahan anak kita.”
Papa Rawit : “Oohh begitu. Jadi kapan
pernikahannya akan diadakan.”
Raja Rica : “Kalau menurut saya lebih
baik—“
Pangeran Jahe : “Permisi.”
Raja Rica : “Loh, Jahe? Ngapain kamu
ke sini?”
Pangeran Jahe : “Aku bosan di istana terus.
Lagian aku penasaran dengan calon istri Kak Kencur. Makanya aku susulin
kesini.”
Raja Rica : “Kamu ini ada-ada aja.
Pak Rawit, Bu Bombay. Ini anak kedua saya, namanya Jahe.”
Bawang Merah : “Ma, Merah nggak jadi deh nikah
sama Pangeran Kencur. Merah sekarang udah move on ke Pangeran Jahe.”
Mama Bombay : (Bangkit dari kursi) “APA?!!!”
Bawang Merah : “Ihh, mama lebay deh. Selow aja
lagi ma. Habisnya, Pangeran Jahe ganteng banget.”
Pangeran Kencur : “Hah? Wajah kayak gini kamu bilang
ganteng? Masih kerenan juga sepatu aku.” (Membanggakan sendal jepit milikinya.)
Raja Rica : “Kalau gitu begini saja.
Bawang Merah akan menikah dengan Jahe, dan Bawang Putih akan menikah dengan
Kencur. Gimana? Setuju?”
Mama Pray : “Itu ide bagus. Akhirnya,
Bawang Putih menikah. Gimana kalau pernikahan kalian kita laksanakan pada hari
yang sama.”
Bawang Putih : “Iya. Terserah Mama, Putih ikut
aja.”
Mama Pray : “Tapi ingat. Mama nggak suka
kalian berhubungan sebelum menikah. Nggak boleh ada sentuhan sebelum menikah.
Bukan mahram. Mengerti?”
Bawang Putih : “Siap bos.” (Hormat.)
Bawang Merah : “Yeee.. Kawin!!!”
Akhirnya,
pernikahan Bawang Merah dan Bawang Putih dilaksanakan pada hari yang sama.
Mereka berdua hidup akur bersama pasangannya masing-masing. Dan persaudaran
antara Bawang Merah dan Bawang Putih mulai membaik seiring berjalan waktu.
Bahkan kehidupan mereka semakin dekat dan tidak bisa dipisahkan.
Dan
mereka semua hidup saling melengkapi istana.
--Tamat--
0 komentar:
Posting Komentar