Kamis, 01 Januari 2015

[Cerpen] Studi Wisata Kelas Sebelas IPS 4

Assalamu'alaikum ^^

Hallo Rainer's, hari ini saya mau sharing cerpen buatan saya. Sebenarnya sih cerpen ini saya tulis buat tugas Bahasa Indonesia saya, haha, tapi nggak masalah deh ^0^ baca dengan cermat ya. Ah, saya minta maaf kalau cerpen ini tidak masuk akal atau kurang menarik. Penulisnya Gaje siih :D





Studi Wisata Kelas Sebelas IPS 4

Kelas dengan dinding berwarna hijau muda yang kerap disapa sebagai kelas sebelas IPS 4 itu, menjadi ribut seketika ketika sang Wali Kelas mengumumkan sesuatu yang menurut mereka luar biasa.

“Kita akan studi wisata ke luar kota selama tiga hari dua malam. Untuk itu siapa yang ingin ikut serta perlu mendapatkan izin dari orangtua kalian. Karena ini merupakan hadiah dari sekolah, kalian dibebaskan dari beban uang makan dan uang transportasi. Kita akan berangkat minggu besok. Jadi tiga hari lagi kalian sudah harus berkumpul di sekolah jam tujuh pagi,” ujar wali kelas mereka memberitahu.

Beberapa detik kemudian, sorakan kebahagiaan dari tiga puluh lima orang siswa di kelas tersebut mulai riuh terdengar, memenuhi ruang kelas yang sudah menjadi rumah kedua bagi mereka.

Yah benar. Studi wisata kali ini memang diluar perkiraan dan merupakan sebuah kejutan yang luar biasa bagi mereka. Studi wisata ini adalah hadiah yang diberikan sekolah untuk mereka karena telah memenangkan banyak lomba ketika hari kemerdekaan beberapa minggu lalu. Dan siapa sangka bahwa ternyata hadiah dari lomba-lomba itu adalah studi wisata yang begitu luar biasa ini.

Bagaimana tidak, ketika semua murid mati-matian mengikuti proses belajar-mengajar dan sibuk mengerjakan PR yang banyaknya nyaris menyamai air di lautan, kelas sebelas IPS 4 tersebut malah sibuk bersenang-senang di sebuah tempat yang setidaknya bisa menghindarkan mereka dari tugas selama tiga hari. Dan lebih lagi, pada hari studi wisata itu, kelas mereka akan mengadakan ulangan Bahasa Indonesia, dan tentu saja karena adanya perjalanan ini ulangan tersebut akan dibatalkan atau setidaknya ditunda sampai mereka kembali.

Setidaknya begitulah menurut pikiran mereka, sampai sebuah ucapan tersangkut di telinga mereka.

“Setelah studi wisata itu berakhir, kalian harus membuat laporan perjalanan sebagai pengganti ulangan Bahasa Indonesia yang dibatalkan,” sela sang Wali Kelas mengingatkan, membuat teriakan kebahagian yang sebelumnya terdengar, berganti dengan cepat menjadi sebuah teriakan protes yang tak terkendali.

Dan suara keluhan pun terdengar di sana-sini, bersahut-sahutan satu sama lain.

“Yaaah, ini kan hadiah, kenapa harus ada tugas?” protes pertama dari suara tak dikenal mendominasi ruangan. Usut punya usut, ternyata sang Ketua Kelaslah yang melontarkan protes ini.

“Iya, benar. Lagi pula sejak kapan liburan didampingi dengan tugas?” sahut suara lain menyetujui pemberontakan yang dilakukan oleh Ketua Kelas.

“Ibu tega sekali. Jangan beri kami tugas!!” protes yang lain ikut-ikutan, membuat suasana kelas menjadi semakin ribut dan tak terkendali.

“Kalau kalian tidak setuju, jangan harap akan ada studi wisata!” ancam sang wali kelas, mengambil jalan tengah yang paling ampuh untuk membuat mereka semua bungkam.

Sesuai prediksi, teriakan protes yang memekakkan telinga lenyap dalam hitungan detik, membuat kelas itu menjadi tenang seketika.

“Ehem, ehem. Hanya laporan perjalanan? Itu sih kecil. Sudahlah lakukan saja, tak perlu protes,” deham si Ketua Kelas tak tahu malu, melupakan fakta bahwa beberapa detik yang lalu dialah dalang utama dari protes-protes di kelas itu.

“Huuuuuuu!!!!” sorakan jengkel seketika terarah dan membuat tuli kedua telinga sang Ketua Kelas.
           

***

            Jam istirahat baru saja dimulai beberapa menit yang lalu, dan tentu saja seluruh siswa tidak mau menyia-nyiakan waktu istirahat yang begitu singkat dan berharga itu untuk membaca buku atau mengulas kembali pelajaran yang telah diberikan.

            Satu tempat pasti yang menjadi tujuan utama seluruh siswa itu adalah kantin. Anehnya, kantin bagi mereka bukan hanya sekedar tempat untuk mengisi perut, melainkan juga tempat bergosip dan tempat berbincang yang paling strategis.

            Dan tentu saja empat serangkai yang terlihat selalu bersama itu juga termasuk diantaranya.

“Alma, kamu akan ikut studi wisata itu, kan?” tanya Gladis antusias.

“Tentu saja. Sudah lama aku ingin pergi bersama kalian bertiga,” sahut gadis yang dipanggil Alma itu dengan pasti, melupakan kenyataan bahwa dia bahkan belum meminta izin dari orangtuanya sama sekali.

“Alma yang cantik, sepertinya pikun akutmu itu kambuh lagi. Kamu itu anak satu-satunya, apa kau pikir orangtuamu akan memberimu izin, hah?” sela Dinyka mengingatkan.

“Ah benar. Kenapa aku bisa lupa?” ucap gadis itu sambil menepuk jidatnya. Sendok nasi yang hendak disuapnya gagal masuk ke dalam mulutnya dan  terhenti di udara.

“Bagaimana ini? Gagal sudah rencana yang sudah kususun untuk bersenang senang disana,” keluh Alma lesu. Mendadak saja nasi putih dan ayam bakar kesukaannya tak lagi menarik untuk disantap. Gadis itu kehilangan selera makannya dalam sekejap.

Masalah inilah yang terkadang membuat gadis itu sedikit kesal terhadap orangtuanya. Karena Alma merupakan anak satu-satunya, orangtuanya selalu bersikap berlebihan jika menyangkut keselamatannya. Alma tahu bahwa hal itu menandakan bahwa orangtuanya menyayanginya. Tapi karena keprotektifan orangtuanya itu, Alma tak pernah diizinkan untuk pergi bersama teman-temannya. Sejak SD hingga saat ini, dia bahkan belum pernah merasakan rasanya berkemah maupun studi wisata. Karena orangtuanya selalu melarangnya untuk ikut pada acara-acara seperti itu.

Lalu sekarang apa yang harus dilakukannya? Dia benar-benar ingin sekali ikut acara studi wisata ini.

“Tenang saja Alma. Kali ini kami akan membantu membujuk orangtuamu agar mengizinkanmu pergi,” hibur Hana menenangkan sambil tersenyum tipis. Gadis anggun ini memang selalu bisa membuat orang lain merasa tenang karena ucapannya.


***

Sepulang sekolah, Alma dan ketiga temannya segera membujuk orangtua Alma agar mengizinkan Alma ikut serta acara pariwisata kali ini.

Akhirnya dengan segala bujukan dan permohonan sedemikian rupa, hati orangtua Alma menjadi luluh dan—meskipun terpakasa—mereka akhirnya memberikan izin pada Alma dengan berat hati.

Setelah mendengarkan nasihat panjang lebar dari orangtuanya, Alma segera berpamitan dan berlari memasuki bus tempat ketiga temannya menunggu.

“Ahhh, untung saja kalian berhasil membujuk orangtuaku. Kalau tidak, aku pasti sedang mengamuk dan mengobrak-abrik kamar tidurku,” ujar Alma penuh rasa syukur ketika dia sudah duduk nyaman di atas bus.

Bus pariwisata yang akan membawa mereka ke tempat tujuan segera melaju menembus jalan raya. Untungnya, semua murid kelas sebelas IPS  4 itu mendapatkan izin dari orangtua mereka.

Salah satu hal yang mengasyikkan pada studi wisata kali ini yaitu, pihak sekolah merahasiakan tempat tujuan dari studi wisata ini. Membuat seluruh siswa itu menjadi penasaran dan bertanya-tanya di dalam hati.

Setelah menempuh perjalanan selama beberapa jam, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Betapa terkejutnya mereka ketika sadar bahwa mereka sedang berada di depan sebuah taman bermain yang sangat terkenal yaitu Ancol.

Mereka mendengarkan dengan baik instruksi yang disampaikan oleh guru pembimbing yang menyuruh mereka untuk membuat kelompok yang terdiri dari lima orang. Setiap dari mereka sudah diberikan tiket masuk. Dan mereka semua bebas bermain sampai pukul tiga sore.

Semua murid itu berpencar dan membentuk kelompok masing-masing. Dan sudah pasti empat serangkai itu berada pada kelompok yang sama. Karena satu kelompok harus terdiri dari lima orang, maka mereka memutuskan untuk meminta sang Ketua Kelas bergabung dengan kelompok mereka. Awalnya sang Ketua Kelas menolak, karena ia sudah membuat kelompoknya sendiri, namun akhirnya, dengan berat hati dia setuju untuk bergabung dengan empat serangkai itu.

“Yaaah, karena kalian, gagal sudah rencanaku untuk membuat kelompok dengan Romi dan yang lain,” keluh Ketus Kelas yang sering disapa Achmad itu.

“Sudahlah. Ikhlaskan saja. Lagi pula, memangnya kamu tega membiarkan kami yang perempuan berkeliaran di tempat seluas ini. Kalau kami hilang, pasti kamu yang akan disuruh mencari,” ujar Alma sambil mengibas-ngibaskan tanganya. Dia sebenarnya ingin sekali tertawa melihat wajah Achmad yang terlihat tidak rela menghabiskan waktu liburannya bersama empat serangkai itu.

“Memangnya siapa suruh kalian membuat kelompok isinya perempuan semua?” tanyanya kesal sekaligus heran.

“Yaah, mau bagaimana lagi. Kami kan memang selalu berempat,” jawab Dinyka.

“Ah iya, aku baru sadar. Sejak dulu jika kemana-mana kalian selalu berempat. Seperti diikat dengan borgol saja.”

“Memang benar. Kami ini diikat oleh borgol. Borgol takdir. Hehehe,” canda Gladis. Gladis ini sebenarnya sedikit tomboi. Tapi anehnya diantara mereka berempat dia paling dekat dengan Hana, perempuan paling feminin diantara mereka.

“Ah sudahlah. Kenapa kita malah membahas masalah yang tidak berguna begini? Sekarang kalian mau naik wahana apa?” tanya Achmad, menyadari waktunya terbuang sia-sia hanya untuk berbicara dan berjalan tak tentu arah. Mengingat setiap siswa hanya punya waktu satu jam saja untuk bermain, mereka semua harus menggunakan waktu dengan cermat.

“Hana mau naik apa?” tanya Gladis sambil menoleh ke arah samping.

“Loh? Hana mana?” tanya Gladis panik.

“Bukannya dia sejak tadi berjalan di samping kamu?” tanya Alma ikutan panik.

“Iya. Tapi sekarang Hana dimana? Bagaimana jika dia tersesat,” air mata sudah mulai menggenang di kedua mata Gladis. Dia pasti benar-benar menyayangi Hana, karena Gladis ini jarang sekali menangis.

“Gladis, tenang dulu, jangan menangis,” ucap Dinyka menenangkan ketika Gladis sudah mulai terisak pelan.

“Ayo kita cari dia!” ajak Achmad 

“Ayo!” sahut mereka serempak.

Mereka semua berlari sambil sesekali menolehkan kepala ke kanan dan kiri, berharap menemukan seorang gadis berkulit putih dengan gaun berwarna biru lembut dan rambut panjang tergerai yang dihiasi bando. Namun setelah tiga puluh menit berlalu, mereka belum juga menemukan Hana.

“Hanaaaa!!” teriak Achmad keras ketika dia melihat seseorang yang mirip dengan Hana di bawah batang pohon disamping penjual gelembung.

“Ya ampun Hana, kakimu kenapa?” tanya Gladis cemas.

“Maaf. Tadi kakiku tersandung batu dan terjatuh. Untung saja seseorang menolongku, tapi ketika aku berdiri, kalian semua sudah tidak ada. Maaf, kalian semua pasti cemas sekali ya?” ujar Hana merasa tak enak.

“Sudahlah tidak apa-apa. Yang penting kamu baik-baik saja,” hibur Dinyka.

“Kakimu sudah tidak apa-apa kan? Bagaimana jika kita mencoba beberapa wahana? Waktu kita tinggal dua puluh menit lagi,” ajak Achmad, membuat ketiga perempuan itu melancarkan protes.

“Bagaimana bisa empat puluh menit berlalu begitu cepat?” tanya Alma tak habis pikir.

“Iya benar. Aku merasa kita baru menghabiskan waktu dua puluh menit,” ucap Gladis setuju.

“Arlojimu pasti rusak,” tuduh Dinyka.

“Tidak. Waktu kita benar-benar tinggal dua puluh menit lagi. Lihat,” sela Hana sambil menunjukkan layar ponselnya.

“Nah, lihatkan? Sekarang apa yang ingin kalian katakan? Ayo katakan,” tantang Achmad sedikit jengkel.

“Diny, kita coba naik kincir, yuk?” ajak Alma berusaha melarikan diri dari pelototan tajam yang diberikan sang Ketua Kelas.

“Hey, jangan melarikan diri kamu.”

“Aku tidak melarikan diri. Bukankah kamu sendiri yang bilang, waktu kita tinggal dua puluh menit lagi,” elak Alma mencari alasan.

“Huh dasar. Ya sudah, ayo.”

Setelah mencoba lima wahana, mereka berlima segera kembali ke tempat yang sudah di tentukan dan kembali masuk kedalam bus.

Ibu guru memberitahu mereka bahwa selanjutnya mereka akan kembali ke hotel untuk melaksanakan shalat ashar terlebih dahulu, lalu beristirahat, dan makan malam. Dan dari setelah makan malam sampai jam sembilan malam, semua siswa bebas melakukan kegiatan apa saja, asalkan masih tetap di lingkungan hotel.

Pagi hari berikutnya, semua siswa kelas sebelas IPS 4 bangun dalam keadaan segar bugar. Setelah sarapan, mereka bersiap-siap untuk perjalanan yang selanjutnya.

 Sebenarnya jadwal mereka hari ini adalah pergi ke Ancol lagi, tapi karena hujan turun, perjalanan ke Ancol dibatalkan dan mereka memutuskan untuk berkeliling Jakarta saja. Namun baru tiga puluh menit mereka berada di atas bus, mereka langsung merasa menyesal untuk keliling Jakarta. Bukan karena tidak ada hal menarik untuk dilihat, namun lebih pada satu alasan jelas yang membuat mereka semua merasa jenuh, yaitu macet.

Ternyata berita macet yang diberitakan di televisi itu bukan hanya sekedar isu, namun kenyataan. Mereka bahkan menghabiskan waktu seharian hanya untuk mencapai restoran tempat mereka akan menyantap makan siang.

Setelah mengisi perut mereka memutuskan untuk mengunjungi Monas. Ternyata di sekitar Monas banyak sekali alat transportasi Bendi berkeliaran. Karena melihat kuda pada Bendi itu, salah seoarang diantara mereka mengusulkan untuk pergi ke kebun binatang. Dan begitulah mereka akhirnya mengunjungi Taman Safari dan menghabiskan waktu disana.

Keesokan harinya setelah sarapan dan berkemas, mereka segera bersiap-siap berangkat kembali ke kota mereka. Sambil menunggu teman-teman yang lain bersiap-siap, empat serangkai itu meminta tolong kepada Ketua Kelas, untuk memoto mereka di depan sebuah monumen yang berbentuk seperti mesin.




Ibu adalah Ibu





Ibu adalah Ibu
Selayang pikiran seorang fans berat Ibu: Suci Fitriani



Ibu itu seperti guru, yang tak pernah berhenti untuk mendidik.
Ibu itu seperti tisu, yang sanggup menghampus air mata di waktu duka.
Ibu itu seperti obat, yang mampu menyembuhkan semua luka.

Ibu itu seperti angin, yang mampu menyapu takut di saat resah.
Ibu itu seperti diary, yang selalu terbuka lebar untuk segala kisah.
Ibu itu seperti kursi, yang dengan setia menopang di kala lelah.
Ibu seperti lantunan melodi, yang dapat dengan mudah menghalau marah.
Ibu itu seperti para pejuang, yang tak mengenal kata menyerah.

Ibu bukan wanita lemah yang akan berkata “Selamatkan nyawaku.”
Tapi ibu adalah malaikat yang akan selalu berkata “Selamatkan anakku.”

Namun meskipun Ibu sering diibaratkan seperti itu,
Ibu bukanlah guru, bukan seorang pejuang, bukan selembar tisu, bukan juga sebutir obat,  ataupun sebaris diary.
Ibu bukanlah segelintir angin, bukan sebuah kursi, bukan juga lantunan melodi, dan bukan pula sesosok malaikat bersayap.

Ibu adalah ibu.
Seorang wanita biasa, yang selalu tampak luar biasa.
Seorang wanita biasa, yang dapat merubah banyak hal menjadi tidak biasa.
Seorang wanita biasa, yang dapat menjadi apapun,
Apapun yang kita butuhkan.
Layaknya pohon tempat bersandar.
Layaknya sahabat tempat mengadu.
Dan layaknya rumah tempat berlindung.

Namun ibu bukanlah benda-benda itu.
Ibu jauh... jauh lebih berharga dari seluruh benda-benda itu.
Ibu adalah ibu, dan akan selalu menjadi ibu.

Wanita terhebat sepanjang masa, yang pernah tercipta di atas dunia.