Amanda berusaha kerasa menahan air matanya yang mendesak keluar. Kenyataan yang baru saja disampaikan oleh orangtuanya seakan menjadi kiamat kecil untuknya.
Ummi menyentuh pundak Amanda pelan, merasa cemas dengan keadaan putri satu-satunya itu. Amanda tersenyum, kembali berusaha mengahalau air matanya yang berdesakan. Benar. Umminyalah alasan kenapa dia berusaha mati-matian menahan air matanya seperti ini. Sebab dia tidak boleh membuat ibunya merasa khawatir.
“Ummi minta maaf ya, Nak,” ujar Ummi. Merasa bersalah karena telah membuat sedih putri kesayangannya itu.
“Iya. Nggak apa-apa kok, Mi. Manda ngerti,” sahut Amanda.
Beberapa saat yang lalu, Abi dan Umminya menyampaikan bahwa mereka bertiga akan pindah ke Amerika. Abi bilang sudah saatnya untuk mencoba berdakwah di sana. Memang, akhir-akhir ini Abi sibuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain untuk menyebarkan agama islam. Dan dari dulu Abi gatal sekali ingin menyebarkan islam di negara berkomunitas Yahudi itu. Tapi Abi tidak bisa melakukannya karena beberapa alasan. Dan sekarang saat harapan itu terwujud, Amanda tidak mungkin bersikap egois dan menolak berita yang disampaikan Abi dengan penuh semangat itu. Penolakannya pasti akan membuat Abi sangat sedih. Ini impian Abi. Dan dia tidak boleh menghancurkannya.
.Tapi sayangnya, sebesar apapun dia berusaha, dia tetap tidak bisa menghalau kecemasan yang membayangi hatinya. Sebab, kenyataan bahwa dia menggunakan kerudung, pasti akan menimbulkan banyak pusat perhatian di sana. Belum lagi serentetan aktivitas yang pastinya benar-benar berbeda dengan budaya yang ada di sana.
***
Ternyata dugaan Amanda benar. Di sekolah barunya, dia tidak hanya menjadi pusat perhatian, tapi juga bahan ejekkan. Nyaris seluruh waktunya dia habiskan hanya untuk mendengar segala cercaan.
Pernah suatu hari, ketika guru di kelasnya berhalangan masuk, Amanda memilih untuk membaca Al-Qur’an. Tapi justru amal ibadahnya itu malah nyaris menimbulkan konflik yang cukup besar di kelasnya.
“Hei, anak baru. Bisa diam nggak? Berisik tau!” bentak seorang anak laki-laki berambut pirang.
Amanda terdiam. Ya Allah, padahal dia sudah mengaji dengan suara amat pelan. Nyaris menyerupai tiupan angin. Jadi bagaimana bisa anak laki-laki ini mengatakan bahwa dia berisik, sedangkan kondisi kelas jauh lebih mengkhawatirkan ributnya dibandingkan suaranya yang sekecil bisikan.
“Tapi kan suaraku nggak begitu keras,” ujar Amanda pelan, berusaha membela diri.
“Siapa bilang? Suara kamu itu ganggu kami semua. Suara kamu jelek banget lagi,” bantah anak laki-laki itu tak berperasaan.
“Nggak kok. Justru suara Amanda merdu banget. Seperti musik,” bela seorang gadis bermata biru yang duduk di sebelah Amanda.
Amanda melongo. Dia tidak tahu bahwa ternyata gadis bermata biru itu mendengarkannya mengaji sejak tadi.
“Ngapain kamu ikut campur?” bentak anak laki-laki itu dengan nada tinggi.
“Kenapa kamu teriak-teriak? Berisik tau!” balas gadis itu, membalikkan ucapan anak laki-laki itu beberapa saat yang lalu.
Anak laki-laki itu terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
Akhirnya anak laki-laki berambut pirang itu pergi dengan raut wajah kesal dan malu yang amat sangat.
Setelah anak laki-laki itu menghilang dari pandangan, Amanda segera berterima kasih pada gadis bermata biru itu. Amanda ingat, saat awal masuk kelas dulu, dia sempat berkenalan dengan gadis cantik bermata biru ini. Namanya Hellena.
“Ah, terima kasih banyak sudah menolongku,” ujanya tulus.
Gadis bermata biru itu tersenyum.
“Bukan masalah kok. Lagi pula aku sudah lama mendengar kamu membaca itu,” ujarnya sambil menunjuk Al-Qur’an yang masih terbentang di atas meja.
“Itu Al-Qur’an, kan?” sambung Hellena sambil tersenyum lebar, dan berhasil membuat Amanda melotot kaget.
Bagaimana bisa gadis bermata biru ini mengetahui Al-Qur’an?
“Jangan kaget begitu. Nenekku juga beragama islam. Jadi aku sudah tidak asing lagi dengan hal-hal seperti itu,” beritahunya.
“Ah, begitu. Tapi kenapa kamu sering mendengarku membaca ini? Bukankah kamu juga bisa mendengarnya dari nenekmu?” tanya Amanda penasaran.
Wajah gadis itu seketika berubah mendung. Kesedihan tampak menggantung di sana. Mata birunya yang cerah berubah redup.
“Dulu, nenek sering sekali membaca itu, dan aku selalu mendengarnya dengan setia. Tapi beliau sudah meninggal, jadi aku tidak bisa lagi mendengar lantunan itu,” ceritanya dengan wajah sedih.
“Ah maaf, aku membuatmu sedih.”
“Tidak apa-apa. Tapi apa kamu tahu, lantunanmu mirip sekali dengan lantunannya,” beritahu Hellena mengejutkan. Binar di mata birunya sudah kembali seperti semula.
“Benarkah?” tanya Amanda.
Hellena mengangguk. “Makanya aku sering mendengarkanmu diam-diam, suaramu mengingatkanku dengan lantunannya.”
“Terima kasih,” sahut Amanda malu-malu.
“Hei. Aku boleh jadi temanmu, kan?” tanya Hellena antusias.
“Tentu saja. Senang berteman denganmu,” sahut Amanda senang. Dia dalam hati dia mengucapkan ribuan syukur karena bisa bertemu dengan gadis bermata biru ini.
--Tamat--