Assalamu'alaikum Rainers ^.^
Selamat minikmati sore penuh hujaann ^.^
Ahh, hujan memang selalu yang terbaik~~
Sore ini saya mau share sebuah cerpen yang saya buat ketika kelas 3 SMA. Sebenarnya kaget juga, sebab saya pikir cerpen ini udah saya masukin ke blog, eh nyatanya belum ._.
Sebenarnya, ini semua dimulai ketika saya sedang mengedit sebuah cerpen karya adik kelas saya di SMA. Dan ketika selesai mengedit, tiba-tiba saya jadi pengen buat cerpen juga, trus saya ingat, blog saya udah lama ditinggalin, udah bedebu plus banyak sarang laba-laba jadinya :D hahaha
Dan ketika saya bongkar-bongkar file cerpen di laptop, saya nemu deh ini cerpen.
Dan inilah dia, cerpen yang terlupakan.. hahaha..
Selamat membaca~
Gadis Bermata Biru dan Lantunan Amanda
Amanda berusaha kerasa menahan air matanya yang
mendesak keluar. Kenyataan yang baru saja disampaikan oleh orangtuanya seakan
menjadi kiamat kecil untuknya.
Ummi menyentuh pundak Amanda pelan, merasa cemas
dengan keadaan putri satu-satunya itu. Amanda tersenyum, kembali berusaha menghalau
air matanya yang berdesakan. Benar. Umminyalah alasan kenapa dia berusaha
mati-matian menahan air matanya seperti ini. Sebab dia tidak boleh membuat
ibunya merasa khawatir.
“Ummi minta maaf ya, Nak,” ujar Ummi. Merasa
bersalah karena telah membuat sedih putri kesayangannya itu.
“Iya. Nggak apa-apa kok, Mi. Manda ngerti,” sahut
Amanda.
Beberapa saat yang lalu, Abi dan Umminya
menyampaikan bahwa mereka bertiga akan pindah ke Amerika. Abi bilang sudah
saatnya untuk mencoba berdakwah di sana. Memang, akhir-akhir ini Abi sibuk
bepergian dari satu tempat ke tempat lain untuk menyebarkan agama islam. Dan
dari dulu Abi gatal sekali ingin menyebarkan islam di negara berkomunitas
Yahudi itu. Tapi Abi tidak bisa melakukannya karena beberapa alasan. Dan
sekarang saat harapan itu terwujud, Amanda tidak mungkin bersikap egois dan
menolak berita yang disampaikan Abi dengan penuh semangat itu. Penolakannya
pasti akan membuat Abi sangat sedih. Ini impian Abi. Dan dia tidak boleh
menghancurkannya.
.Tapi sayangnya, sebesar apapun dia berusaha, dia
tetap tidak bisa menghalau kecemasan yang membayangi hatinya. Sebab, kenyataan
bahwa dia menggunakan kerudung, pasti akan menimbulkan banyak pusat perhatian di
sana. Belum lagi serentetan aktivitas yang pastinya benar-benar berbeda dengan
budaya yang ada di sana.
***
Ternyata dugaan Amanda benar. Di sekolah barunya,
dia tidak hanya menjadi pusat perhatian, tapi juga bahan ejekkan. Nyaris
seluruh waktunya dia habiskan hanya untuk mendengar segala cercaan.
Pernah suatu hari, ketika guru di kelasnya
berhalangan masuk, Amanda memilih untuk membaca Al-Qur’an. Tapi justru amal
ibadahnya itu malah nyaris menimbulkan konflik yang cukup besar di kelasnya.
“Hei, anak baru. Bisa diam nggak? Berisik tau!”
bentak seorang anak laki-laki berambut pirang.
Amanda terdiam. Ya Allah, padahal dia sudah mengaji
dengan suara amat pelan. Nyaris menyerupai tiupan angin. Jadi bagaimana bisa anak
laki-laki ini mengatakan bahwa dia berisik, sedangkan kondisi kelas jauh lebih
mengkhawatirkan ributnya dibandingkan suaranya yang sekecil bisikan.
“Tapi kan suaraku nggak begitu keras,” ujar Amanda
pelan, berusaha membela diri.
“Siapa bilang? Suara kamu itu ganggu kami semua.
Suara kamu jelek banget lagi,” bantah anak laki-laki itu tak berperasaan.
“Nggak kok. Suara Amanda merdu banget. Seperti
musik,” bela seorang gadis bermata biru yang duduk di sebelah Amanda.
Amanda melongo. Dia tidak tahu bahwa ternyata gadis
bermata biru itu mendengarkannya mengaji sejak tadi.
“Ngapain kamu ikut campur?” bentak anak laki-laki
itu dengan nada tinggi.
“Kenapa kamu teriak-teriak? Berisik tau!” balas
gadis itu, membalikkan ucapan anak laki-laki itu beberapa saat yang lalu.
Anak laki-laki itu terdiam, tidak tahu harus
menjawab apa.
Akhirnya anak laki-laki berambut pirang itu pergi
dengan raut wajah kesal dan malu yang amat sangat.
Setelah anak laki-laki itu menghilang dari
pandangan, Amanda segera berterima kasih pada gadis bermata biru itu. Amanda
ingat, saat awal masuk kelas dulu, dia sempat berkenalan dengan gadis cantik
bermata biru ini. Namanya Hellena.
“Ah, terima kasih banyak sudah menolongku,” ujanya
tulus.
Gadis bermata biru itu tersenyum.
“Bukan masalah kok. Lagi pula aku sudah lama
mendengar kamu membaca itu,” ujarnya sambil menunjuk Al-Qur’an yang masih
terbentang di atas meja.
“Itu Al-Qur’an, kan?” sambung Hellena sambil
tersenyum lebar, dan berhasil membuat Amanda melotot kaget.
Bagaimana bisa gadis bermata biru ini mengetahui
Al-Qur’an?
“Jangan kaget begitu. Nenekku juga beragama islam.
Jadi aku sudah tidak asing lagi dengan hal-hal seperti itu,” beritahunya.
“Ah, begitu. Tapi kenapa kamu sering mendengarku
membaca ini? Bukankah kamu juga bisa mendengarnya dari nenekmu?” tanya Amanda
penasaran.
Wajah gadis itu seketika berubah mendung. Kesedihan
tampak menggantung di sana. Mata birunya yang cerah berubah redup.
“Dulu, nenek sering sekali membaca itu, dan aku
selalu mendengarnya dengan setia. Tapi beliau sudah meninggal, jadi aku tidak bisa
lagi mendengar lantunan itu,” ceritanya dengan wajah sedih.
“Ah maaf, aku membuatmu sedih.”
“Tidak apa-apa. Tapi apa kamu tahu, lantunanmu mirip
sekali dengan lantunannya,” beritahu Hellena mengejutkan. Binar di mata birunya
sudah kembali seperti semula.
“Benarkah?” tanya Amanda.
Hellena mengangguk. “Makanya aku sering
mendengarkanmu diam-diam, suaramu mengingatkanku dengan lantunannya.”
“Terima kasih,” sahut Amanda malu-malu.
“Hei. Aku boleh jadi temanmu, kan?” tanya Hellena
antusias.
“Tentu saja. Senang berteman denganmu,” sahut Amanda
senang. Di dalam hati dia mengucapkan ribuan syukur karena bisa bertemu dengan
gadis bermata biru ini.
--Tamat--
0 komentar:
Posting Komentar