Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
Selamat Siang Rainer's ^^ *Lambaikan tangan
Gimana nih kabarnya? Sehat? Puasanya gimana? Lancar?
Hahaha, maaf, maaf, seperti sebelumnya, kebiasaan keppo yang sulit dihilangkan -,- hahaha
Nah, siang ini saya mau bagi-bagi cerpen buatan saya :D
Selamat Siang Rainer's ^^ *Lambaikan tangan
Gimana nih kabarnya? Sehat? Puasanya gimana? Lancar?
Hahaha, maaf, maaf, seperti sebelumnya, kebiasaan keppo yang sulit dihilangkan -,- hahaha
Nah, siang ini saya mau bagi-bagi cerpen buatan saya :D
Cerpen ini dibuat dengan tujuan agar orang-orang yang membacanya saling tolong-menolong dalam menjalani kehidupan. Sebenarnya cerpen ini saya tulis untuk dijadikan film buat project Rohis di sekolah saya, #ehem, gini-gini saya juga anak Rohis lho :D hehehe. Bahkan cerpen ini udah saya ubah ke versi dramanya, ntar kapan-kapan saya share lagi di sini. oke? ;)
Ah, Saya minta maaf jika cerpen ini kurang menarik atau banyak kekurangan lainnya, maklum, saya kan juga manusia :D
Yuk, langsung aja baca..
Ah, Saya minta maaf jika cerpen ini kurang menarik atau banyak kekurangan lainnya, maklum, saya kan juga manusia :D
Yuk, langsung aja baca..
Assalamu’alaikum Rohis
Author’s POV
Gadis itu berlajan pelan dengan kepala tertunduk ke bawah. Kerudung putih panjang yang dikenakannya bergoyang lembut mengiringi gerakan kakinya yang anggun. Di tangan kanannya tergenggam erat sebuah buku tebal yang bagi kebanyakan orang membosankan, namun sangat menarik baginya.
Gadis itu terus melangkah, sambil sesekali mengangkat kepalanya untuk mencari papan nama ruangan yang ditujunya.
Gadis itu tersenyum ketika papan nama ruangan yang tengah dicarinya mulai terlihat. Pintu ruangan itu tertutup, dan dia tidak mendengar suara apapun dari dalam, membuatnya yakin bahwa kelas itu masih kosong. Gadis itu melihat arloji di tanggannya. Pukul tujuh pagi. Pantas saja. Dia datang terlalu cepat. Karena sekolah baru akan dimulai pukul delapan.
Gadis tersebut meraih gagang pintu bercat putih itu, ketika pintu itu terbuka, ia disambut oleh puluhan meja dan kursi yang setahun kedepan akan menemani hari-harinya di sekolah ini.
Gadis itu tersenyum, melangkahkan kakinya masuk, dan membisikkan sesuatu dengan penuh khidmat. Bisikkannya begitu lirih, sehingga dengan mudah berbaur bersama angin pagi yang menyegarkan. Bisikannya hanya terdiri dari satu kalimat sederhana. Satu kalimat yang menyimpan banyak harapan di dalamnya.
Bismillahirahmanirrahim.
***
Seorang gadis berwajah oriental dengan penampilan yang terlihat sedikit tomboi berlari kecil di sepanjang koridor sekolah, memperhatikan satu per satu papan-papan nama ruangan yang dilewatinya, berharap diantara papan-papan itu dia akan menemukan nama ruangan yang sejak tadi berusaha ia temukan. Senyum gadis itu mengembang ketika matanya menangkap sebuah tulisan yang sejak tadi dicarinya. Tulisan itu tertera pada sebuah ruangan yang terletak di ujung koridor. X IPS 3. Ruangan yang akan menjadi kelasnya untuk setahun kedepan.
Gadis itu menghentikan langkahnya di depan pintu ruangan tersebut. Dia memegangi dadanya yang sesak akibat perbuatanya berlarian di sepanjang koridor tadi. Setelah napasnya mulai teratur, gadis itu mengembangkan senyum terbaiknya, meraih gagang pintu dan mengeluarkan sapaan andalan yang sudah dilatihnya sejak beberapa hari yang lalu.
“Selamat pagi semu—“ ucapan gadis tomboi itu terhenti ketika dia menyadari bahwa di dalam sana hanya ada seorang gadis yang duduk seorang diri di sebuah kursi barisan depan. Di hadapan gadis itu terbentang sebuah buku yang terlihat cukup tebal.
Setelah memperhatikan penampilan gadis itu, dia sedikit menyesal karena masuk ke dalam kelas dengan cara yang salah. Dan rasa sesalnya semakin bertambah ketika dia menyadari bahwa gadis berkerudung panjang dihadapannya itu terlihat sedikit kaget akan kedatangannya yang tiba-tiba dan mengejutkan. Pasti dia sudah memberi kesan pertama yang buruk pada gadis yang terlihat lembut itu.
“Oh tidak. Ayah, Ibu, anakmu terjebak dalam situasi membingungkan di hari pertama ia masuk sekolah,” bisiknya pelan sambil menggigit bibir bawahnya cemas.
***
“Ng, anu. Maaf ya, tadi aku masuk dengan cara yang kurang baik. Kamu pasti terkejut, ya?” tanya gadis tomboi itu sambil mendekat ke arah gadis berwajah cerah itu.
“Memang, tadi aku sedikit terkejut karena pintunya tiba-tiba terbuka. Tapi kurasa itu lumayan untuk memacu memompa jantungku,” sahutnya sambil tersenyum jenaka.
“Hah? Memangnya ada apa dengan jantungmu?”
“Entahlah. Sepertinya dia mulai malas bergerak. Untung saja kamu membuatnya kaget dan dia berhasil bergerak normal kembali. Kalau dia benar-benar berhenti, coba bayangkan apa yang akan terjadi,” canda gadis berkerudung panjang itu.
Gadis tomboi itu terpana sesaat. Ternyata gadis alim ini memiliki jiwa humoris yang lumayan baik. Hal ini menepis semua khayalannya tentang gadis berkerudung panjang. Dalam benaknya, gadis berkerudung panjang itu pendiam, pemalu, serta jarang sekali bercanda. Dan gadis di hadapannya baru saja menepis semua pikiran sok tahunya itu dalam sekejap.
“Hahaha. Syukurlah. Kalau begitu aku tidak melakukan sesuatu yang sia-sia, kan?”
“Tidak ada hal di dunia ini yang sia-sia. Semua hal, sekecil apapun hal tersebut, semua sudah diatur oleh Allah, dan Allah tidak mungkin memutuskan sesuatu yang sia-sia untuk hamba-Nya,” jelas gadis itu panjang lebar dengan senyum lembut yang bermain di sudut bibirnya.
Gadis tomboi itu kembali terperangah untuk kedua kalinya dalam waktu satu menit.
Hebat benar gadis ini. Pikirnya. Tampak begitu diam diawal pertemuan, menjadi gadis yang humoris ketika mulai berbasa-basi, dan mendadak menjadi begitu serius dan jenius ketika berbincang. Tiga kepribadian dalam satu waktu. Luar biasa.
***
“Annisa,” ujar gadis tomboi itu sambil mengulurkan tangannya. “Lengkapnya, Annisa Della Anita.”
Mata cokelat gelap gadis berkerudung itu membulat sesaat kemudian tersenyum.
“Rayna. Rayna Al-Kharinza,” sahut gadis berkerudung lebar itu sambil menerima uluran tangan Annisa.
“Kamu terlihat kaget. Apa ada yang salah dengan namaku?” tanya Annisa heran, menyadari keterkejutan sesaat dari Rayna.
“Tidak. Nama kamu bagus. Bagus sekali. Hanya saja mungkin... ng maaf, sedikit bertolak belakang dengan penampilan kamu,” jelas Rayna terbata, berusaha menemukan kalimat yang tepat agar tidak menyinggung perasaan teman barunya itu.
Diluar dugaan, Annisa malah terbahak mendengar komentar yang dikatakan oleh Rayna.
“Kenapa tertawa?” tanya Rayna sambil memiringkan kepalanya bingung.
“Hahahaha. Tidak. Hanya saja, kamu entah orang keberapa yang mengatakan hal serupa. Aku mulai berhenti menghitungnya sejak hitunganku mencapai orang ke tiga puluh tujuh,” sahut Annisa di sela-sela tawanya.
“Ah, syukurlah. Padahal aku takut kamu akan marah mendengar komentarku.”
“Memangnya aku terlihat setomboi itu, ya?”
“Sepanjang pengamatanku pagi ini, ya.”
“Sepanjang pengamatanku?” ulang Annisa bingung. Rayna mengangguk.
“Dan apa yang kamu dapatkan dengan pengamatan itu?” tanya Annisa antusias.
“Hmm tidak banyak. Aku hanya menyadari bahwa cara berjalan kamu sedikit berbeda, langkah kakimu sangat lebar, kurasa mungkin itu karena tubuhmu yang tinggi. Cara kamu mengulurkan tangan juga sangat berbeda, tidak seperti gadis kebanyakan yang mungkin akan merasa ragu untuk mengulurkan tangannya pada orang yang baru satu kali ditemuinya, kamu mengulurkan tangan dengan begitu santai, seolah sudah terbiasa melakukannya berkali-kali. Dan.. oh, satu hal yang membuatku sedikit tertarik adalah matamu. Matamu berwarna cokelat. Cantik sekali,” jelas Rayna panjang lebar yang diakhiri dengan sebuah pujian dan seutas senyum tipis.
Annisa kembali merasa takjub dengan gadis yang baru beberapa menit ditemuinya ini. Dengan waktu sesingkat itu, Rayna sudah berhasil mengungkap kepribadiannya hanya dengan sekali tatap. Bahkan sampai warna matanya pun tidak luput dari mata gadis itu. Satu hal yang dapat dia tarik, Rayna adalah gadis berkemampuan pengamatan yang sangat tinggi. Mata gadis ini setajam elang. Dan sangat teliti.
“Eh, ehm, terima kasih,” sahut Annisa tersipu malu. Bertanya tanya dalam hati bagiamana cara Rayna melakukannya? Melakukan pengamatan seakurat itu.
Rayna tersenyum tipis menanggapi ungkapan terima kasih Annisa. Kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke arah buku tebal yang masih terbentang di hadapannya.
Seharusnya Annisa mencoba tenang dan membiarkan Rayna membaca. Tapi dasar Annisa, tidak bisa diam sedetikpun, dia mulai melontarkan pertanyaan yang sebenarnya sejak tadi sudah berada di ujung lidah.
“Itu buku apa? Kelihatannya tebal sekali,” tanya Annisa penasaran.
Rayna menoleh kemudian tersenyum. “Judulnya Siriah Nabawiyah. Berisi tentang kisah nabi Muhammad Saw. Hanya saja lebih dirincikan dengan lengkap.”
Annisa menganggukkan kepalanya paham. Sepertinya dia sedikit tertarik dengan buku ini. Meskipun tomboi, Annisa sangat suka membaca buku. Buku apapun akan habis dilahapnya dalam sekali baca. Dan melihat buku tebal di hadapan Rayna, dia merasa penasaran, berapa lama waktu yang dibutuhkannya untuk membaca habis buku itu dan memahami isinya.
“Sepertinya sangat menarik. Hei, kalau kamu sudah selesai membacanya, pinjami aku, ya?”
Rayna membulatkan matanya tak percaya. Entah berapa banyak orang yang ditemuinya sudah melihat serta bertanya mengenai buku ini, namun tak seorangpun diantara mereka mengatakan bahwa buku ini buku yang menarik. Apalagi bersedia membacanya. Kebanyakan dari mereka hanya menjawab dengan satu kata ‘oh’ dan merasa tidak perlu untuk bertanya lebih lanjut mengenai buku ini.
Jadi, kenapa malah gadis tomboi ini yang telihat antusias terhadap buku yang dibacanya?
“Subhanallah. Kamu orang pertama yang mengatakan bahwa buku ini menarik,” ujar Rayna menyuarakan isi kepalanya.
“Hah? Apa maksudnya?’
“Sudah banyak orang yang melihat dan bertanya mengenai buku ini, dan kebanyakan dari mereka tidak terlalu tertarik dengan buku ini.”
“Ya, Benar. Hahaha. Kalau ini acara televisi kamu pasti sudah dihadiahi piring cantik,” canda Rayna lagi.
“Hmm, kira-kira piring cantiknya bisa ditukar dengan mobil cantik, tidak ya?” balas Annisa. Menyenangkan sekali bercanda dengan gadis berkerudung ini. Tidak sulit untuk mendekatkan diri dengan Rayna, dan mungkin mereka bisa menjadi teman akrab.
“Tentu saja bisa. Ditukar dengan brosurnya maksudnya. Hahaha.”
“Itu lebih bagus lagi. Brosurnya bisa dibuat pesawat terbang. Pesawat terbang palsu maksudnya. Hehehe,” ujar Annisa sambil mengutip sedikit kalimat Rayna.
“Wah kalau begitu sih akan jadi bencana. Bisa ditangkap oleh anggota BLH lho,” sahut Rayna sambil tertawa kecil.
“Hah? Kenapa?”
“Tentu saja. BLH kan ekskul yang bergerak di bidang lingkungan. BLH itu singkatan dari Budaya Lingkungan Hidup. Mereka selalu konsiten menjaga lingkungan sekolah. Karena itulah sekolah ini selalu mendapat penghargaan setiap tahunnya. Mereka tidak suka jika ada kertas yang dibuat menjadi mainan, karena akan menjadi sampah. Dan mereka tidak suka ada siswa yang dengan sengaja menciptakan sampah.”
“Kamu sepertinya tahu banyak ya?”
“Tidak juga. Tapi hal ini dulu pernah kudengar dari sepupuku.”
“Oh, sepupu kamu alumni sekolah ini, ya?”
“Ya benar. Tapi itu sudah tiga tahun yang lalu. Dia bilang selama tiga tahun bersekolah di sini, BLH selalu membawa pulang piala kebersihan, adiwiyata, dan piala serupa.”
“Ngomong-ngomong soal ekstrakulikuler, hari ini jadwal untuk pengenalan ekskul, kan?”
“Ah iya benar. Kamu ingin masuk ekskul apa?”
“Entahlah. Lihat nanti saja.”
***
Rayna berjalan lesu menuju kelasnya. Beberapa saat yang lalu pengenalan ekskul baru saja berakhir, dan dia, sama sekali tidak mengira akan berakhir dengan keeadan seperti ini.
“Rayna kenapa? Kok terlihat lesu?”
“Ah tidak ada apa-apa. Annisa masuk ekstrakulikuler apa?” tanya Rayna sambil tersenyum tipis.
“Aku belum bisa memutuskan. Terlalu banyak yang ingin kuikuti. Tapi setiap siswa hanya boleh memilih satu ekskul, kan? Makanya aku bingung. Menurut Rayna sebaiknya aku ikut ekskul apa?”
Hening.
Menyadari tidak ada respon dari Rayna, Annisa segera menoleh ke samping dan mendapati Rayna tengah melamun dengan raut wajah sedih.
“Rayna? Ada apa?” tegur Annisa sambil menyentuh pundak Rayna.
“Ah maaf. Rayna melamun.”
“Rayna lagi mikirin apa sih?”
“Ng, sebanarnya ekstrakulikuler yang Rayna inginkan sedang berada dalam masalah.”
“Eh? Masalah apa?”
“Entahlah, para senior itu bilang ekskul itu sudah dua tahun ini hanya memiliki sedikit anggota. Jadi, sidang guru kemarin memutuskan jika tahun ini anggotanya tidak mencapai sepuluh orang, maka dengan berat hati ekskul ini dibubarkan.”
“Memangnya itu ekskul apa?”
“Rohis.”
“Rohis?”
“Mmm, singkatan dari Rohani Islam. Saat ini, jika Rayna dimasukkan hitungan, rohis hanya memiliki enam anggota. Kami harus bisa mendapatkan empat anggota lagi dalam waktu satu bulan. Lewat batas waktu itu, ekskul ini akan dibubarkan. Bagaimana ini? Padahal Rayna sudah sejak lama ingin bergabung dengan ekskul ini. Kenapa malah jadi begini?’
“Baiklah. Sudah diputuskan.”
“Eh, apanya?”
“Aku juga akan bergabung dengan Rohis.”
“Eh? Serius? Bukankah ada lebih banyak ekskul yang lebih menyenangkan dan sesuai dengan hobi Annisa?” tanya Rayna heran.
“Memang. Tapi pasti akan lebih menyenangkan lagi jika aku satu ekskul dengan Rayna,” sahut Annisa sambil tersenyum lebar, membuat Rayna secara tiba-tiba merasa terharu. Baru kali ini dia bertemu dengan seseorang yang rela mengorbankan sesuatu demi dirinya.
“Maaf ya, Annisa,”
“Lho? Kenapa minta maaf?”
“Gara-gara Rayna, Annisa jadi tidak bisa ikut ekskul yang Annisa sukai.”
“Sudahlah, tidak apa-apa. Lagi pula ini kan keputusanku sendiri.”
“Terima kasih ya. Kamu baik sekali.”
“Iya. Sama-sama. Nah, dimana aku bisa mendaftar menjadi anggota?”
“Ah, formulirnya ada pada kakak kelas. Ayo kita kesana.”
***
“Ooh. Jadi ini temannya Rayna? Namanya Annisa, kan?” tanya salah satu senior sekaligus anggota rohis yang menjabat sebagai wakil ketua.
“Iya, benar.”
“Kenalkan, nama kakak Rika Anjani. Panggil kak Rika saja. Jabatan kakak sebagai wakil ketua di rohis. Salam kenal ya,” ujar Rika sambil menyalami Annisa dengan cara salam yang tidak biasa.
“Saya ingin bergabung, Kak. Boleh minta formulirnya?” tanya Annisa sambil tersenyum tipis.
“Tentu saja. Sebentar ya,” pamit Rika sambil menghilang ke dalam kelas.
Beberapa saat kemudian dia kembali sambil membawa seorang wanita berkacamata.
“Nah, ini namanya Vyana Oktra Ardimansyah. Panggil Kak Vivi saja boleh kok. Nah, kak Vivi ini menjabat sebagai sekretaris.”
“Assalamu’alaikum Annisa,” sapa Vivi sambil menyalami Annisa dengan cara yang sama seperti Rika, membuat Annisa berpikir mungkin memang begitulah cara bersalaman dalam ekskul Rohis ini.
“Wa’alaikumsalam, kak,” jawab Annisa sambil kembali tersenyum tipis.
“Nih, formulir yang kamu minta. Silakan diisi.”
“Terima kasih.”
Setelah berpamitan, Rayna dan Annisa segera kembali ke kelas. Ketika jam pelajaran berakhir, Annisa sudah mengisi formulir dan kembali menyerahkannya kepada kak Vivi.
Karena masih terlalu canggung, Annisa meminta Rayna untuk menemaninya menyerahkan formulir itu. Ternyata Vivi dan Rika sedang berbincang dengan tiga orang lagi. Ketiganya wanita. Sepertinya mereka semua adalah anggota Rohis.
“Permisi kak, saya mau nyerahkan formulirnya,” ujar Annisa sambil menyerahkan formulir itu pada Vivi.
“Oh, Terima kasih, ya.”
“Jadi, ini anggota baru yang tadi antum sebutkan?” tanya salah seorang diantara mereka.
“Benar. Dia baru saja bergabung tadi. Lumayan, kan? Baru hari pertama pengenalan kita sudah dapat dua anggota. Hei kasih salam dong pada mereka,” sahut Rika.
“Oh benar juga. Assalamu’alaikum,” sapa ketiga orang itu.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Rayna dan Annisa serempak.
“Nah, Rayna, Annisa. Kita perkenalan dulu, ya. Nih, kakak yang pakai kacamata namanya Umi. Dia ini ketua Rohis. Kalau kakak yang disampingnya namanya Aii. Dia menjabat sebagai bendahara. Kalau kakak yang satu lagi namanya Oki. Dia seksi acara dan event rohis.”
“Salam kenal kakak,” sapa Rayna sambil melambaikan tangannya sekilas.
“Iya adek,” sambut ketiga orang itu sambil membalas lambaian tangan Rayna.
“Jadi, kita sudah punya tujuh anggota, ya?” tanya Umi.
“Tidak disangka, ya? Kita tinggal mencari tiga orang lagi,” sahut Oki menimpali.
“Benar. Semoga saja Rohis kali ini mendapat cukup anggota dan tidak jadi dibubarkan,” sambung Aii.
***
Rayna melangkah gugup di sepanjang koridor pelataran kelas IPA. Dia tidak pernah berjalan kemari sebelumnya, dan itu membuatnya merasa gugup. Sebenarnya jika tidak disuruh, dia tidak akan berani pergi ke sini seorang diri. Tapi apa boleh buat. Salah seorang guru memintanya memanggil seorang siswi dari kelas IPA.
Dan beginilah jadinya, dia terdampar di antara kerumunan orang-orang yang tidak dikenalnya sama sekali.
Rayna berhasil menemukan kelas yang ditujunya, namun masalah lain timbul. Dia tidak berani masuk dan menyampaikan maksudnya.
Ditengah kegelisahannya, Rayna dikejutkan oleh kedatangan seorang siswi.
“Ah maaf. Aku membuatmu kaget, ya?” ujar siswi itu meminta maaf.
“Tidak apa-apa, kok,” balas Rayna sambil tersenyum tipis.
“Ada perlu apa, ya?”
“Ah begini, bisa tolong sampaikan pada Ririn, ibu Salma menunggunya di kantor,”
“Ah begitu, baiklah.”
“Terima kasih.”
“Sama-sama.”
***
Annisa berlarian dengan tergesa-gesa di sepanjang koridor sekolah. Dia punya sesuatu yang harus disampaikannya pada Rayna. Karena terlalu bersemangat, tidak sengaja Annisa menubruk seseorang sehingga terjatuh. Dengan cemas dan rasa bersalah tingkat tinggi, Annisa segera membantu orang itu berdiri. Seorang wanita.
“Maaf ya. Kamu tidak apa-apa. Aku benar-benar minta maaf karena berlarian dan menabrakmu. Apa kamu terluka,” ujar Annisa cemas.
“Aku tidak apa-apa kok,” sahut gadis itu.
“Awwww,” keluhnya beberapa saat kemudian ketika menyadari bahwa ternyata pergelangan kakinya mengalami sedikit masalah.
“Sepertinya kakimu terkilir. Bagaimana ini. Harus segera diobati. Ayo kubawa ke UKS,” sahut Annisa panik.
***
“Annisa? Kamu kenapa? Sakit perut? Pusing? Atau maag kamu kambuh lagi?” tanya Rayna sambil menghambur masuk ke ruang UKS dan mendapati Annisa sedang duduk manis di sebuah kursi di samping tempat tidur.
“Lho? Annisa? Bukannya kamu sedang sakit? Kenapa malah duduk santai di sana?”
Tadi ketika dia sedang sibuk mencari Annisa, seseorang memberitahunya bahwa Annisa pergi ke UKS, jadi dia pikir terjadi sesuatu pada Annisa, sehingga gadis itu pergi ke UKS secepat kilat.
“Yang sakit bukan aku Rayna. Tapi dia,” ujar Annisa sambil menunjuk seorang gadis yang menonton mereka berdua penuh minat. Di pergelangan kaki gadis itu terbalut sebuah perban putih.
“Ah kamu,” ujar Rayna ketika menyadari bahwa gadis yang terbaring di tempat tidur itu ternyata sedikit familiar untuknya.
“Haii,” sapa gadis itu sambil tersenyum tipis.
“Kalian saling kenal?”
“Kami pernah bertemu sebelumnya, tapi belum sempat kenalan. Nah, kalau seperti itu apa bisa dikatakan saling mengenal?”
“Sepertinya tidak,” sahut Annisa.
“Oke kalau begitu. Rayna,” ujar Rayna tiba-tiba sambil mengulurkan tangannya ke arah gadis berwajah manis itu.
“Eh, ng, Hana,” balas gadis itu sambil menyambut uluran tangan Rayna, sedikit kaget karena diajak berkenalan secara tiba-tiba.
“Nah, kalau sekarang bagaimana?” tanya Rayna sambil menatap Annisa dengan senyum lebar.
“Oke. Mulai sekarang kalian resmi berkenalan. Jeng jeng,” sahut Annisa sambil bertepuk tangan dengan konyol, membuat kedua orang itu tertawa lebar.
“Ah sebentar, kamu bilang pernah ketemu dengan Hana. Memangnya dimana kalian pernah bertemu?” tanya Annisa penasaran.
“Dulu Rayna pernah cerita soal pergi ke kelas Ipa, kan?”
“Lalu?”
“Nah, dia yang membantu Rayna saat itu.”
“Oooh begitu.”
“Jadi? Kenapa kalian berdua bisa berada disini? Ada apa dengan kakinya, Annisa?”
“Tadi aku tidak sengaja menubruknya di koridor,”
“Tuh kan, Rayna kan sudah sering bilang, jangan berlarian di koridor,” ceramah Rayna dengan tangan berkacak pinggang. Persis seperti seorang Ibu galak yang sedang memarahi anaknya.
“Yaah. Maaf.”
“Sudahlah tidak apa-apa, kok. Ngomong-ngomong kalian kelas berapa?” lerai Hana.
“Kami X IPS 3. Hana kelas IPA berapa?” tanya Annisa.
“Aku IPA 3. Kapan-kapan main ke kelasku, ya?”
“Sipp. Hana juga ya, sering-sering main ke IPS 3. Kalau kami tidak ada di sana, pergi ke mushalla saja. Biasanya kami berada di sana.”
“Loh kenapa?”
“Kami berdua anggota rohis. Kami dan anggota rohis yang lain biasanya sering menghabiskan waktu di mushalla.”
“Oh begitu. Kupikir Rohis sudah dihapuskan. Ternyata tidak ya.”
“Sebenarnya akan dihapuskan,” sahut Rayna membenarkan.
“Eh, kenapa?” tanya Hana kaget.
“Rohis kekurangan anggota. Rapat guru memutuskan jika dalam waktu satu bulan anggota Rohis tidak mencapai 10 orang, maka Rohis terpaksa dibubarkan. Karena itu kami sedang berusaha mencari anggota,” jelas Annisa.
“Ngomong-ngomong, Hana ikut ekskul apa?” tanya Rayna.
“Belum ada. Soalnya tidak ada yang menarik.”
“Kalau gitu mau coba lihat-lihat kami di Rohis? Hana nggak harus jadi anggota, kok? Lihat-lihat saja dulu. Nanti baru diputuskan, gimana?” ajak Rayna antusias.
“Boleh. Kapan?”
“Hari Jum’at, sepulang sekolah, di mushalla. Oke?”
“Oke.”
***
Setelah melihat dan mengamati kegiatan rohis haris jum’at lalu, Hana menjadi tertarik dan ikut bergabung dengan rohis. Tidak hanya itu, dia juga turut serta membawa seorang temannya. Namanya Lilac. Mereka berdua amat dekat, sebab mereka sudah bersahabat sejak SD. Mereka bisa dikatakan sebagai sejoli kembar. Sebab, apapun yang disukai oleh Hana sudah pasti disukai Lilac. Dan sebaliknya, apapun yang tidak disukai Lilac, sudah pasti tidak disukai oleh Hana.
Dan rohis hanya tinggal mencari satu orang anggota lagi agar bisa terbebas dari ancaman pembubaran.
Tapi sayanganya sudah hampir tiga minggu sejak hari pertama penegenalan ekskul. Dan rohis hanya punya waktu seminggu lagi untuk mengumpulkan anggota agar genap menjadi sepuluh.
Masalahnya, sudah tiga minggu ini tidak ada lagi anggota baru sejak Hana dan Lilac bergabung. Berbagai cara sudah mereka lakukan, dengan mempromosikan rohis lewat mading, mempromosikan ke kelas-kelas, bahkan Rayna sampai menghabiskan akhir pekannya hanya untuk membuat brosur agar dapat dibagikan ke siswa-siswa. Tapi tetap saja tidak ada siswa yang ingin bergabung, membuat mereka semua bertanya-tanya apa yang salah, sehingga mereka semua tidak berminat bergabung dengan organisasi islam ini.
Dua hari kemudian barulah semua anggota bisa merasa lega, sebab Rayna datang bersama seorang anggota lain, membuatnya dihadiahi berbagai macam ucapan terima kasih dari semua anggota. Dan si anggota ‘ke-sepuluh’, dihadiahi ucapan selamat datang yang amat berlebihan karena dianggap sebagai ‘penyelamat’ yang diberikan Allah.
Anggota baru itu bernama Ressta, seorang gadis manis yang cerewet. Tapi dia memiliki hati yang mudah tersentuh untuk hal-hal kecil sekalipun. Meskipun selalu tersenyum, namun dia memiliki perasaan yang amat sensitif. Tapi meskipun begitu, Ressta mudah sekali memaafkan orang yang berbuat salah padanya.
***
Seorang gadis dengan aura tenang berjalan pelan di sepanjang perjalanan menuju kantin. Langkahnya mendadak terhenti ketika dia menangkap sayup-sayup sebuah suara dari arah mushalla yang sedang di laluinya. Karena penasaran, dia berjalan mendekat, berusaha mencari tahu. Dan dia mendengar seorang wanita yang duduk melingkar di sana memimpin pembicaraan.
Dia kemudian memberanikan diri untuk bertanya.
“Permisi, maaf mengganggu, boleh saya tahu kalian sedang apa?”
Semua pasang mata seketika tertuju padanya. Wanita yang terlihat lebih besar itu tersenyum kemudian berkata. “Kami sedang mentoring.”
“Maksudnya?” tanyanya bingung.
“Mentoring itu semacam kegiatan pemberi nasehat dan tanya jawab. Adik ingin bergabung?”
Mata gadis itu mendadak berbinar mendengar tawaran menarik itu.
“Boleh?” tanyanya sedikit enggan.
“Tentu saja,” jawab kakak itu lagi.
Dengan antusias gadis itu membuka sepatunya dan ikut dalam lingkaran itu.
***
“Ooohh, jadi Civa juga dari Ips. Sama dong dengan kami berdua,” sahut Annisa antusias sambil menunjuk Rayna dan dirinya sendiri.
“Benarkah? Kalian IPS berapa?”
“Kami IPS 3. Kalau Civa?” jawab Rayna.
“Aku IPS 1. Kapan-kapan mampir ya?”
“Siiip.”
“Oh iya, bukankah beberapa hari yang lalu kami sudah mempromosikan rohis ke kelas-kelas, kenapa baru sekarang Civa merasa tertarik?”
“Ah, sebenarnya ini hari keduaku masuk sekolah. Aku baru saja masuk hari kamis kemarin.”
“Oooohh.”
***
Esoknya Civa datang kembali bersama seorang gadis yang amat pendiam. Selama proses mentoring berjalan dia tidak pernah berbicara sedikitpun, kecuali saat perkenalan diawal pertemuan. Karena penasaran, kakak mentoring bertanya pada gadis itu.
“Syilfa ingin bertanya sesuatu?”
Gadis bernama Syilfa itu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya singkat.
“Kalau begitu kami yang akan bertanya. Boleh, kan?” tanya kakak mentoring lagi.
Gadis itu mengangguk ragu.
“Hobi Syilfa apa?” celetuk Rika dengan wajah penasaran.
“Kak Rika kepo iih,” ledek Lilac jahil.
“Biarin. Lagian yang lain pasti juga penasaran, ya nggak Aii? Aii penasaran, kan?” tanya Rika meminta dukungan.
“Nggak tuh,” sahut Aii cuek, membuat wajah Rika menjadi manyun seketika.
“Hahaha. jangan gitu Aii, liat tuh wajahnya Rika, jadi manyun gitu,” tawa Umi mencoba menengahi teman-temannya, meskipun akhirnya ia ikut tertawa melihat wajah cemberut Rika yang terlihat kekanak-kanakan.
“Udah Syilfa, abaikan aja kakak-kakak yang nggak jelas itu. Sekarang kasih tahu kami hobi Syilfa apaan. Penasaran niiihh,” timpal Oki, yang disambut oleh protes keras dari Rika.
“Yeeee. Itu mah sama aja dengan pertanyaanku tadi.”
“Kak, kalau kakak debat terus, kapan Syilfa bisa bicara?” tanya Rayna gemas. Dia benar-benar penasaran dengan hobi gadis pendiam itu.
“Rayna benar. Jadi, hobi Syilfa apaan?” tanya Aii sependapat.
“Nyanyi,” jawab Syilfa malu-malu.
“Wooaaa. Kalau gitu nyanyikan sebuah lagu dong,” pinta Ressta.
“Eh. Jangan. Malu,” jawabnya dengan pipi merona merah.
“Nyanyi, nyanyi, nyanyi,” seru semua orang yang ada di sana kompak.
Syilfa menghela napasnya pelan ketika dia sadar bahwa ia tidak akan bisa mengelak dari permintaan semua orang. Dan pertemuan hari itu ditutup dengan nyanyian merdu dari Syilfa.
***
Satu bulan pertama dan mereka sudah berhasil mengumpulkan dua belas anggota. Perkembangan yang amat luar biasa. Mereka semua berteman cukup dekat sehingga nyaris disangka keluarga.
Tapi pertemanan mereka memang identik dengan hal-hal seperti itu. sebab lingkaran yang setiap Jum’at mereka bentuk itu adalah lingkaran persaudaraan. Persaudaraan islam.
Suatu hari, Civa mendadak absen datang ke lingkaran itu. Awalnya akhwat yang lain tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Tapi semua menjadi resah ketika Civa juga tidak datang pada minggu berikutnya.
“Kak, kita tanyain sama dia yuk, kenapa dua minggu ini absen rohis,” usul Rayna ketika mentoring Jum’at itu berakhir.
“Boleh. Tapi ada baiknya kita lakukan pendekatan dengan orang yang paling dekat dengannya terlebih dulu. Siapa yang sekelas dengan Civa?” tanya kakak mentoring.
Tidak ada yang menyahut.
“Syilfa nggak sekelas dengan Civa ya?” tanya Ressta.
“Nggak. Soalnya aku kelas IPS 4.”
“Lalu kenapa hari itu dia datang bareng kamu?” tanya Umi.
“Waktu itu dia pernah bantuin aku karena suatu hal. Jadi karena aku juga belum masuk ekskul apa-apa, dia mengajakku untuk bergabung. Dia bilang ekskul ini sangat menarik. Makanya aku ikut saat dia bilang mau mentoring,” jelas Syilfa, untuk pertama kalinya mau mengeluarkan kalimat yang panjang.
“Kalau begitu, akan lebih baik jika Syilfa yang menanyakan pada Civa. Bagaimana? Bisa, kan?”
“Insya Allah, kak.”
***
Jum’at berikutnya semua orang di lingkaran itu menatap Syilfa dengan pandangan penasaran. Hari ini Civa juga tidak hadir dalam lingkaran itu, membuat mereka semua bertanya-tanya ada apa gerangan sehingga Civa yang begitu antusias mengikuti mentoring mingguan, saat ini malah sudah tiga minggu mangkir dari mentoring. Dan Syilfalah satu-satunya orang yang sudah mengetahui alasannya.
Sebab itulah, para akhwat itu menatap Syilfa dengan pandangan bertanya, menanti gadis itu menceritakan alasan keabsenan Civa selama ini.
“Jadi? Apa katanya?” tanya Aii tak sabaran.
Syilfa menatap semua akhwat di lingkaran itu dengan tatapan nanar. Berat rasanya dia menyampaikan berita ini.
“Civa... tidak diizinkan orangtuanya bergabung dengan rohis?”
Hening.
Semua orang di lingkaran ini mendadak terpaku pada jawaban singkat namun padat dari Syilfa.
“Eh? Kenapa?” tanya Annisa dengan suara bingung.
“Entahlah. Katanya, orangtuanya tidak suka dengan perubahan Civa yang sekarang.”
“Eh? Kenapa?” tanya Rayna ikut-ikutan.
“Menurut orangtuanya, Civa yang sekarang jadi lebih suka banyak menceramahi orangtuanya. Padahal menurut Civa, dia hanya memberitahu orangtuanya agar segera mengerjakan shalat. Tapi orangtuanya malah mengamuk dan melarangnya ikut serta dalam rohis lagi.”
Mereka semua terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
“Terus sekarang gimana kak?” tanya Vivi pada Kakak Mentoring.
“Susah juga ya dek, padahal niatnya Civa baik. Tapi sayang, orangtuanya salah pengertian.”
“Terus gimana? Kasihan Civa, Kak. Dia bilang pengen datang mentoring lagi. Dia juga kangen banget dengan akhwat yang lain,” ujar Syilfa sedih. Teringat lagi percakapan mereka waktu itu dan betapa rindunya Civa pada akhwat yang lain.
“Kalau gitu ajak aja dia buat gabung lagi,” seru Rika antusias.
“Kakak sayang, tadi kan udah dijelasin kalau dia nggak boleh ikutan rohis lagi,” sambut Ressta gemas.
“Terus apa masalahnya? Civa kan nggak berbuat jahat. Justru niatnya buat gabung di lingkaran ini harus terus dilanjutin,” balas Rika tak mau kalah.
“Gimana kalau orangtuanya tahu, lalu mereka menghukum Civa?”
“Ya jangan sampai tahu dong. Begitu aja kok repot!” bantah Rika dengan suara yang sedikit tinggi membuat Ressta terdiam.
“Kalau menurut Rayna, kita harus bisa meluluhkan hati orangtuanya terlebih dahulu,” saran Rayna angkat suara.
“Gimana caranya?” tanya Annisa.
“Kita datangin orangtuanya, terus kita jelaskan baik-baik bahwa rohis itu tidak seperti yang mereka duga. Gimana?”
“Hmm, kakak setuju sama idenya Rayna. Jadi kapan kita kesana?”
“Kak, kalau menurut Umi, jangan semua akhwat yang datang.”
“Loh? Kok gitu?”
“Kalau kita datang bergerombol, terkesan seperti sebuah penyerangan. Dan Umi rasa itu bakalan bikin mood ibunya memburuk. Lebih baik kita utus dua atau tiga orang aja.”
“Boleh juga. Jadi siapa yang bersedia pergi?”
“Rayna, Kak!” seru Rayna semangat. Dia benar-benar tidak sabar ingin pergi ke rumah Civa dan membantu temannya itu keluar dari kurungan ibunya. Dia juga amat rindu sekali dengan gadis ceria itu.
“Ada lagi?”
“Umi, Kak!” sahut Umi semangat.
“Oke, besok kita ngumpul sepulang sekolah dan pergi ke rumah Civa. Setuju?”
“Setuju!”
***
Minggu berikutnya mereka semua melongo menatap Civa yang sudah duduk manis diantara mereka. Kemudian tatapan mereka semua beralih ke arah Rayna dan Umi yang hari itu duduk berdampingan.
“Nah, sepertinya seru kalau kalian mau bercerita mengenai Civa,” pancing Oki.
“Benar. Ayo Umi, ceritakan pada kami,” desak Rika.
Yang diminta malah tersenyum tidak jelas. Seolah ingin mengulur waktu untuk membuat mereka semua penasaran.
“Biar Civa yang cerita, kak!” tawar Civa dengan cengiran lebar. Gadis itu benar-benar bahagia bisa duduk kembali dalam lingkaran ini. Lingkaran yang dirindukannya selama tiga minggu terakhir.
“Sebelumnya, Civa mau bilang terima kasih buat kalian semua. Karena udah bantuin Civa bicara sama Ayah dan Ibu. Terus Civa juga mau bilang makasih sama Rayna,” ujarnya, dengan sengaja menggantung kalimatnya agar semua orang merasa semakin penasaran.
“Ada salam dari Ibu,” sambungnya sambil mengedip jahil ke arah Rayna.
“Wa’alaikumusalam warrahmatulahi wabarakatuh,” sahut Rayna sambil tersenyum lebar.
“Eh, apa, apa? Sepertinya sesuatu yang seru telah terjadi. Ayo cepat lanjutkan ceritanya Civa,” rengek Annisa.
“Udah ah. Lain kali aja di lanjutin,” canda Civa, membuat semua akhwat di sana merengut kesal.
“Civaaa!!!” rengek Hana
“Ayo cerita!!” sambung Lilac.
“Kalau nggak cerita kami gelitikin nih,” ancam Vivi.
“Oke. Oke. Jadi, kemarin sempat ada adegan adu debat antara Ibu dengan Rayna.”
“Terus, terus?” tanya Rika tak sabaran.
“Meskipun suara Ibu sudah naik tiga oktaf, Rayna tetap menjawab semua argumen Ibu dan Ayah dengan nada yang tenaaaang sekali. Dan di bagian akhir, argumen Rayna tepat sasaran dan membuat Ibu tidak bisa berkata-kata. Karena itulah Ibu akhirnya mengalah dan membolehkanku ikut kegiatan rohis lagi. Tapi anehnya, ketika mereka semua pamit, Ibu malah mengatakan padaku bahwa dia menyukai Rayna. Aneh, kan?”
“Yaahhh, sayang. Padahal Aii pengen lihat adegan itu juga,” sesal Aii.
“Iya. Syilfa juga penasaran, kak,” ujar Syilfa semangat. Entah bagaimana akhir-akhir ini Syilfa tak lagi pendiam. Mungkin berada dekat dengan akhwat-akhwat yang rata-rata pada cerewet, membuat gadis ini mulai sedikit ketularan.
“Eh, ngomong-ngomong Kakak Mentoring sama Ressta mana? Kok nggak kelihatan?” tanya Civa.
“Kakak Mentoring nggak bisa datang hari ini. Beliau bilang sedang ada agenda di kampusnya,” jawab Umi.
“Terus Ressta? Dia kemana?” tanya Civa lagi.
Semua mata secara otomatis langsung tertuju ke arah Rika.
“Jangan gitu dong lihatnya. Merinding, nihh?” ujar Rika.
“Memangnya ada apa?” tanya Civa penasaran.
“Ressta bertengkar dengan Rika,” beritahu Aii.
“Kok bisa?” tanya Civa kaget.
“Ressta sedikit tersinggung dengan ucapan Rika,” jelas Umi.
“Tau nih Rika. Udah jelas tuh anak sensitif banget. Malah digituin. Ya terluka dong jadinya,” ujar Oki.
“Loh kok kamu jadi nyalahin aku sih? Kan kamu tahu dari dulu aku memang kayak gitu. Suara aku jadi tinggi kalau debat. Bukan salah aku kalau dia malah tersinggung.” balas Rika sewot.
“Kenapa kamu jadi marah-marah sama aku?! Aku kan cuma ngungkapin kenyataan. Emang kenyataannya kamu buat dia tersinggung,” balas Oki.
“Tapi kan aku melakukannya bukan karena sengaja. Kamu ini teman aku atau bukan sih? Kalau kamu teman aku, seharusnya kamu tahu sku seperti apa!” bantah Rika sambil berlari keluar dari lingkaran.
Semua akhwat terdiam menyaksikan pertengkaran hebat itu. Kejadiannya terjadi dengan begitu cepat, membuat mereka tidak bisa bereaksi apa-apa.
“Ki, kejar Rikanya dong. Minta maaf sama dia,” ujar Vivi. Orang pertama yang berhasil menguasai dirinya dari syok sesaat yang dialaminya.
“Loh kenapa malah aku yang minta maaf?”
“Karena kamu membuatnya merasa tersudut,” jawab Vivi.
“Dia pasti sedih banget. Dari dulu kamu kan dekat banget dengan dia,” sambung Umi.
“Udahlah. Kalian ini kenapa sih. Selaluuu aja belain Rika. Kalian pikirin juga dong perasaan aku. Jahat banget sih!” seru Oki emosi. Dia mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan lingkaran.
Semua orang lagi-lagi terdiam. Mereka semua menatap nanar ke arah dua jarak yang terputus. Persaudaraan mereka merenggang. Dan mereka harus bisa menyatukannya kembali.
***
Esoknya, tanpa membuang waktu lagi, segera setelah Umi memberitahu semua kejadian kemarin pada Kakak Mentoring, mereka semua berkumpul untuk membahas masalah itu.
Semua terdiam ketika lingkaran sudah terbentuk seperti biasanya. Tapi entah kenapa terasa ada sesuatu yang aneh. Lingkaran kali ini entah bagaimana terasa kecil, dan hal itu menimbulkan perasaan kurang yang tidak nyaman.
“Jadi? Ada masalah apa sampai lingkaran ini terasa begitu kecil?” mulai Kakak Mentoring.
“Kami juga nggak tahu kak. Kejadiannya begitu cepat. Saat kami sadar, lingkaran ini udah terputus begitu aja.”
“Kemarin kami membahas mengenai keabsenan Ressta. Dan Oki menyalahkan Rika atas hal itu. Mungkin dia juga tidak bermaksud seperti itu. Tapi Rika salah paham dan mereka berdua bertengkar hebat. Kemudian Rika pergi dari lingkaran ini. Ketika kami meminta Oki untuk meminta maaf, dia tersinggung dan marah pada kami,” jelas Umi, menceritakan peristiwa buruk kemarin.
“Masalahnya jadi rumit banget ya?” renung Kakak Mentoring.
Beberapa saat kemudian, Hana menghampiri mereka dengan tergesa-gesa. Dia terlihat amat panik.
“Loh? Hana? Kenapa? Mana Lilac?” tanya Rayna heran ketika melihat Hana hanya datang seorang diri. Biasanya mereka memang selalu datang berdua, mengingat mereka adalah sahabat dekat dan merupakan teman sekelas.
“Gawat Ray!” ujarnya panik.
“Gawat kenapa?” tanya Rayna ikutan cemas ketika melihat ekspresi Hana yang memucat.
“Lilac... Lilac diskorsing sama pihak sekolah.”
“Eh, kenapa?” tanya Rayna dan Annisa berbarengan.
“Dia dituduh mencuri dompet temanku. Ya Allah. Padahal aku tahu banget Lilac gadis seperti apa. Dia gadis yang baik Ray. Aku jamin. Dia bahkan masih merasa segan hanya sekedar untuk meminta minumanku? Yang sudah sangat dekat padanya. Jadi bagaimana mungkin dia berani mengambil dompet orang lain, yang bahkan tidak terlalu dekat dengannya. Dia bahkan tidak tahu dompet itu milik siapa. Aku sendiri bahkan ragu dia tahu orang itu memiliki dompet atau tidak,” jelas Hana sedih. Teman dekatnya pasti lebih merasa sedih saat ini. Apa yang akan dikatakan gadis itu pada Ayah dan Ibunya nanti.
“Ya Allah. Masalah apa lagi ini?” tanya Syilfa dengan nada khawatir sambil menggit bibir bawahnya cemas.
***
Delapan. Hanya ada delapan orang yang duduk di lingkaran itu. membuat lingkaran itu tampak benar-benar kecil. Dan terasa sepi.
“Jadi? Bagaimana sekarang? Rasanya sepi sekali,” ujar Kakak Mentoring membuka percakapan.
“Hana mana?” tanyanya lagi.
“Beberapa hari ini dia selalu pulang lebih awal buat jenguk Lilac,” ujar Aii.
“Lilac kenapa? Sakit?” tanya Kakak Mentoring.
“Bukan. Beberapa hari ini dia mengurung diri di kamar. Orangtuanya bahkan cemas sekali dengan kondisi mental Lilac. Jadi Hana selalu pulang lebih awal untuk membujuk Lilac,” jelas Civa.
“Kalian nggak ikut membujuk Lilac?” tanya Kakak Mentoring lagi.
“Hana bilang biarkan Lilac tenang dulu. Kalau kita langsung beramai-ramai datang ke sana, dia akan lebih mengurung diri dan nggak mau keluar kamar,” jelas Syilfa.
“Jadi sekarang bagaimana? Akhwat benar-benar berkurang drastis. Masih belum ada perkembangan dari Ressta?” tanya Kakak Mentoring.
“Belum Kak,” jawab Rayna mewakili yang lain.
“Rika sama Oki?”
“Juga belum, Kak,” jawab Umi.
“Coba deh Umi, Vivi, sama Aii, bujuk mereka agar baikan. Vivi sekelas dengan Rika, kan? Coba lobi dia lagi. Umi dan Aii juga, coba bujuk Oki agar mau baikan lagi dengan Rika,” ujar Kakak Mentoring memberi instruksi.
“Iya Kak, besok kami coba ngomong sama mereka berdua,” jawab Umi.
***
“Jadi gimana perkembangannya?” tanya Kakak Mentoring ketika mereka kembali berkumpul.
“Oki sama Rika udah mulai sadar dengan kesalahan mereka. Tapi mereka masih terlalu gengsi buat minta maaf duluan,” jawab Aii.
“Kalau Ressta?”
“Dia sebenarnya udah maafin Kak Rika sejak lama. Tapi dia malu buat datang mentoring lagi,” jelas Rayna.
“Kenapa, dek?”
“Dia bilang, dia malu dengan sikapnya yang terlalu senstif. Jadi dia belum berani datang. Dan dia bilang nggak bisa datang mentoring sebelum hubungannya dengan Kak Rika bisa diperbaiki kembali,” kali ini Annisa yang menjawab.
“Kak, sebenarnya Rayna punya ide. Tapi nggak tahu deh, bisa berhasil atau nggak.”
“Coba ceritakan aja dulu. Nanti baru diputusin bakalan berhasil atau nggak,” sahut Kakak Mentoring.
“Kak Rika kan udah mulai sadar dengan kesalahannya, nah, kita bujuk dia buat minta maaf dengan Ressta. Kalau mereka udah baikan, barulah kita sama-sama datangin Kak Oki. Menurut Rayna, Kak Oki merasa sedih sebab teman-temannya yang lain lebih berpihak pada Kak Rika saat itu. Jadi dia merasa sedikit terasingi. Kalau kita sama-sama datangin dia, dia pasti nggak akan merasa kayak gitu lagi. Gimana?” tanya Rayna meminta pendapat.
“Hmm. Boleh juga. Sekarang kita atur rencana buat ngelaksanain ide Rayna tadi. Setuju?” sambut Kakak Mentoring meminta pendapat.
“Setuju Kak,” sahut yang lain serempak.
***
“Kak Rika, kakak masih marah ya masalah yang waktu itu? Kok nggak datang mentoring lagi? Kami semua kangen sama kakak,” ucap Rayna ketika bel pulang berbunyi dan dia segera menghampiri kelas Rika.
“Maaf dek. Tapi kakak benar-benar sebal sama Oki. Padahal kakak nggak sengaja nyinggung perasaannya Ressta. Kakak juga nggak niat kayak gitu. Seharusnya Oki tahu, dia kan teman kakak,” ujar Rika.
“Rayna tahu kok. Sekarang temanin Rayna ke kantin yuk, Rayna belikin minum deh,” bujuk Rayna.
“Kamu mau menghibur atau nyogok kakak?” tanya Rika dengan mata menyipit curiga. Meskipun begitu senyum lebar telah terukir di wajahnya.
“Dua-duanya, kak. Hehehe.”
Ketika sampai di kantin, Rika akhirnya paham kenapa Rayna tiba-tiba menhampirinya dan mengajaknya ke kantin.
“Maaf kakak, sebenarnya tujuan Rayna bawak kakak kesini bukan cuma buat beli minuman. Tapi juga untuk buat kakak damai dengan Ressta,” sesal Rayna.
Rika menghela napas kemudian duduk di depan Ressta.
“Dek, kakak minta maaf ya. Kakak benar-benar nggak bermaksud buat kamu tersinggung. Maafin kakak ya?”
“Iya, Kak. Nggak apa-apa kok. Sebenarnya Ressta udah nggak marah lagi, tapi Ressta malu buat datang mentoring dan ketemu sama Kakak. Jadi Ressta nggak datang mentoring lagi. Tapi gara-gara itu, kakak sama Kak Oki jadi berantem kan? Ressta minta maaf ya?”
“Bukan salah kamu kok. Kakak cuma sedikit kesal karena dia nggak bisa ngerti sifat kakak, padahal dia teman dekat kakak.”
“Nah, karena sekarang udah damai. Jangan malu lagi buat datang mentoring ya?”
“Siap kak,” sahut Ressta sambil mengangkat tangannya hormat.
“Nih, janji Rayna tadi. Sekarang, ayo kita pergi,” ajak Rayna sambil meletakkan sebuah minuman di depan Rika.
“Pergi ke mana?” tanya Rika bingung.
“Udah, ayo ikut,” sahut Ressta sambil menarik tangan Rika.
“Kalian ngerencanain sesuatu, ya? Hari ini bukan ulang tahun kakak lho,” tanya Rika kegeer-an.
“Jangan geer kak. Memangnya siapa bilang kami mau buat kejutan untuk kakak,” jawab Rayna.
“Terus, kalian mau apa?”
“Kita lihat aja nanti,” jawabnya penuh rahasia.
***
“Mau apa kalian bawa kakak kemari?” tanya Rika bingung ketika mereka sampai di depan Mushala sekolah.
“Kakak pikir kalian mau traktir kakak makan,” ujarnya sambil memasang wajah cemberut.
“Kakak mah pikirannya makan melulu,” sahut seseorang dari arah belakang, membuat Rika melonjak kaget. Ternyata semua akhwat kecuali Hana dan Lilac serta Umi dan Vivi, berdiri lengkap di belakangnya. Bahkan Kakak Mentoring pun hadir.
“Loh? Kok semuanya pada ngumpul di sini? Sekarang bukan saatnya mentoring, kan?” tanya Rika bingung.
Kemudian Umi dan Vivi datang bersama Oki, membuat Rika paham maksud dari pertemuan mendadak ini.
“Rika, Oki, setiap hubungan itu seperti batu karang. Dia kokoh memang, tapi ada saatnya dia akan ditimpa obak. Sama seperti persahabatan kalian. Akan ada saatnya ombak besar menimpa kalian. Tapi jangan kalah dengan ombak itu. Sebab dengan ombak besar itulah kalian akan belajar menjadi kuat nantinya. Nah, sekarang ayo baikan. Rohis sepi sekali tanpa kalian.”
“Maaf ya Rika. Aku benar-benar nggak bermaksud buat nyalahin kamu. Aku tahu kamu nggak bermaksud seperti itu. Aku juga tahu sifat kamu yang terkadang suka hilang kendali ketika berdebat. Tapi saat itu aku berniat bercanda dan berpikir kamu akan menimpali ucapanku dengan santai. Tapi ternyata kamu tersinggung dengan ucapanku. Maaf yaa,” ungkap Oki.
“Iya. Nggak apa-apa kok. Aku juga minta maaf karena malah marah-marah sama kamu. Aku benar-benar nggak tahu kamu berniat untuk bercanda. Kupikir kamu benar-benar menyalahkanku karena menyinggung perasaan Ressta. Habisnya, kupikir kamu pasti mengerti dengan sikapku yang seperti itu. Tapi saat itu aku kaget karena kamu malah menyalahkanku. Jadi aku... aku.. aku marah. Maaf yaa,” balas Rika.
“Nah, karena sekarang sudah berdamai, jadi nggak ada alasan buat nggak datang mentoring. Oke?” ujar Kakak Mentoring.
“Eh, tapi sepertinya ada yang kurang. Mana Hana sama Lilac?” tanya Rika.
“Itu dia masalahnya. Selagi kalian bermasalah. Lilac juga mendapat masalah. Dia diskors dari sekolah karena dituduh mencuri dompet temannya,” beritahu Kakak Mentoring.
“Mana mungkin. Dia bahkan tidak berani mengambil uang yang dia temukan di tengah jalan,” bantah Oki tak percaya.
“Memang. Tapi masalahnya dompet itu ditemukan di dalam tasnya,” kata Syilfa.
“Ya Ampun. Dia pasti syok sekali. Gimana cara menolongnya?”
“Ng... anu... sebenarnya kemarin Rayna udah ke kelas Lilac dan mencaritahu. Ternyata itu semua kesalahpahaman. Hari itu, teman Lilac yang memiliki dompet tersebut, meminta tolong pada temannya untuk memasukkan dompetnya ke dalam tas. Dia hanya berkata pada temannya itu untuk memasukkan ke dalam tas berwarna merah. Kebetulan hari itu Lilac membawa tas yang sama dengan orang yang memiliki dompet. Jadi temannya itu salah memasukkan dompet, dan malah memasukkannya ke dalam tas Lilac,” jelas Rayna panjang lebar.
“Bagaimana kamu bisa tahu semua itu?” tanya Ressta penasaran.
“Eh, sebenarnya, Rayna hanya meminta mereka untuk mengulangi aktivitas pada hari hilangnya dompet. Dan dari pengulangan itu Rayna menyadari bahwa teman si pemilik dompet, memasukkan dompet itu ke dalam tas yang berada di tempat duduk Lilac,” jawab Rayna.
“Woa keren. Seperti detective saja,” puji Syilfa.
“Hahaha. Makasih. Tapi kalau detective sih terlalu jauh. Rayna kan cuma menyuruh mereka mengulangi kegiatan mereka,” bantah Rayna.
“Tapi tetap saja. Kami bahkan tidak pernah berpikir untuk melakukan hal semacam itu,” bantah Syilfa.
“Yang penting sekarang adalah bagaimana cara membawa Lilac kembali ke sekolah ini,” ujar Vivi.
“Benar. Mentalnya pasti masih terganggu karena peristiwa ini. Jadi mungkin akan sulit untuk membawanya kembali ke sekolah,” ujar Kakak Mentoring.
“Nggak kok. Kemarin Rayna dapat kabar dari Hana, kalau dia bakalan datang ke sekolah besook pagi.”
“Alhamdullillah. Syukurlah kalau begitu.”
***
“Selamat datang kembali, Lilac,” sambut semua akhwat dalam lingkaran itu. lingkaran itu kini berukuran lebar kembali, seperti sebelumnya.
“Makasih,” sahut Lilac dengan senyum lebar.
“Ya ampun udah beberapa minggu nggak datang rohis. Aku rindu banget sama kalian semua,” sambungnya sambil tersenyum lebar.
Memang benar. Selama ini dia hanya mengurung diri di kamar. Diam di sana tanpa tahu harus melakukan apa, membuatnya merasa amat bosan.
“Kami juga rindu sama Lilac,” ujar Ressta sambil memeluk singkat Lilac yang duduk di sampingya. Di antara mereka semua, memang hanya Ressta yang paling lama tidak bertemu dengan Lilac.
“Ah benar juga. Kita sudah lama nggak ketemu. Iya kan?”
“Hahaha. benar,” sahut Ressta.
Keceriaan kembali berlangsung di lingkaran itu.
Namun mereka belum tahu, bahwa sebuah masalah besar akan menimpa seorang teman baik mereka.
***
Annisa sering uring-uringan memikirkan sikap Rayna akhir-akhir ini. Gadis itu sekarang lebih banyak diam dan melamun. Dia yang biasanya aktif di kelas, entah bagaimana saat ini malah terlihat tidak semangat sama sekali mengikuti pembelajaran.
Dan puncak keanehan terjadi ketika Rohis mengadakan rapat namun ia tidak bisa menghadirinya. Hal yang belum pernah terjadi selama ini. Rayna sangat rajin mengikuti kegiatan rohis. Belum pernah sekalipun dia absen dari kegiatan apapun. Bahkan sebuah rapat mendadak pun masih bisa dia datangi.
Namun kali ini, gadis itu meminta maaf kepada seluruh akhwat dan langsung melesat ke luar sekolah.
Nampak begitu terburu-buru. Dan bukan hanya Annisa yang sadar akan keanehan tersebut. Seluruh akhwat yang lain juga merasakan adanya keanehan.
Dan akibatnya, Annisa menjadi sasaran empuk untuk diinterogasi oleh seluruh akhwat yang ada di sana.
“Nis, Rayna kenapa?” Rika memulai percakapan.
“Nggak tau kak, udah beberapa hari ini dia terlihat aneh sekali. Dia memang masih terlihat ceria seperti biasanya. Tapi saya sering liat dia melamun dan gelisah,” ungkap Annisa.
“Kira-kira ada apa ya?” tanya Hana entah kepada siapa.
“Mungkin dia sedang punya masalah di rumah. Apa kamu tahu sesuatu tentang keluarganya?” tanya Kakak Mentoring.
“Saya nggak begitu tau mengenai keluarganya. Yang saya tahu orangtua Rayna sangat perhatian dan dermawan pada orang-orang di sekelilingnya. Dan dari cerita-cerita Rayna selama ini, saya tahu bahwa Rayna lebih dekat dengan ayahnya dibandingkan dengan Ummi-nya.”
“Loh kenapa begitu? Apa dia punya masalah dengan umminya?” tanya Vivi.
“Bukan begitu. Rayna memang sangat dekat dengan umminya, tapi lebih dekat lagi dengan ayahnya. Ayahnya itu... bagaimana yaa, sudah seperti teman bagi Rayna. Ayahnya juga tempat dia bertanya jika sedang bingung atau memiliki suatu masalah. Ayahnya itu... bisa diartikan sebagai panutan keduanya,” jelas Annisa panjang lebar.
Memang benar. Dari cerita-cerita yang dia dengar dari Rayna selama ini. Annisa tahu bahwa Rayna amat menyayangi ayahnya. Setiap dia bercerita mengenai ayahnya, aura bahagia selalu terpancar di wajah gadis itu, dan matanya otomatis berbinar-binar ketika dengan semangatnya dia bercerita betapa mengagumkan sosok ayahnya itu dimatanya.
“Ah benar juga. Sudah cukup lama saya nggak dengar Rayna cerita tentang ayahnya. Biasanya nama ayahnya selalu disebut-sebut dalam setiap percakapan,” terang Annisa.
“Kita kunjungi ke rumahnya yuk? Siapa tahu keluarganya memang sedang mengalami masalah,” usul Kakak Mentoring.
“Iya kak. Saya nggak tega liat Rayna sering melamun gitu,” ujar Annisa sependapat.
“Tapi kak, kalau orangtuanya memang sedang mengalami masalah bukankah kita lebih baik tidak ikut campur,” ujar Oki ragu.
“Kita datang ke rumahnya cuma buat mastiin keluarganya sedang bermasalah atau nggak. Dan jika memang diperlukan kita bisa ikut membantu atau setidaknya memberi solusi untuk permasalahan keluarganya. Atau setidak-tidaknya kita bisa melakukan sesuatu untuk menghibur Rayna. Kakak nggak tega liat dia tersenyum sepanjang hari seolah-olah dia baik-baik saja. Soalnya Kakak yakin dia pasti sedang berusaha menahan air matanya. Tadi kakak sempat lihat matanya berkaca-kaca saat dia pamit.”
“Ya udah deh, Kak. Besok kita kunjungi rumah dia ya.”
***
Rumah berwarna cokelat cappucino itu terlihat begitu ramai dan sibuk. Semua orang bergerak cepat mempersiapkan segala sesuatu yang mereka butuhkan.
Sebuah tenda besar berdiri kokoh didepan rumah itu, dengan kursi-kursi yang disusun berjejer rapi. Suasana di luar rumah begitu sibuk, bertolak belakang dengan suasana rumah yang terkesan sunyi. Hanya suara isakan yang sayup-sayup terdengar dari dalam sana.
Dan semua akhwat hanya bisa mematung ketika menyadari apa yang sedang terjadi.
Sebab sebuah bendera putih di depan rumah sudah cukup untuk menjelaskan musibah apa yang sedang menimpa teman baik mereka itu.
Mereka semua bergerak masuk, bertanya-tanya dalam hati, bagaimana kondisi Rayna, sahabat mereka yang selalu terlihat ceria itu.
Gadis itu duduk diam di sudut ruangan. Menatap kosong ke arah lantai berwarna putih di hadapannya.
Gadis itu menopang kepalanya di kedua kakinya yang tertekuk. Entah pikiran apa yang sedang bermain di kepala berlapis kerudung gadis itu. Namun kedua tangannya yang memeluk erat kakinya yang tertekuk itu bergetar. Menyiratkan dengan jelas seberapa dalam kesedihan yang sedang ditanggung oleh gadis itu.
Seluruh akhwat mendekat, menyapa gadis itu dengan suara bergetar.
“Rayna...” panggil Annisa lirih. Raut wajahnya terlihat amat cemas. Sebab baru kali ini dia melihat Rayna begitu murung.
Rayna mengadahkan kepalanya dan sontak berdiri ketika melihat siapa yang memanggilnya.
Dia memeluk Annisa erat dan menangis hebat. Menumpahkan seluruh air mata yang sejak tadi berusaha keras ia tahan. Bahu gadis itu berguncang, isakannya terdengar amat lirih dan menyayat ketika dia dengan terbata-bata memanggil seorang panutan hidup yang disayanginya. Seseorang yang hari ini meninggalkannya untuk selamanya.
“Ayah... Ayah... Ayah...” panggilnya berkali-kali dengan suara teredam.
Annisa tercekat. Gadis yang sedang menangis dalam pelukannya itu kehilangan ayahnya. Sosok yang amat berharga dan sangat disayanginya. Dia tidak bisa membayangkan sedalam apa kesedihan yang sedang dialami oleh sobat karibnya ini.
Annisa bertanya-tanya dalam hati, apakah masih tetap ada cerita mengenai sosok ayah luar biasa yang akan mengalir dari cerita-cerita gadis ini di kemudian hari. Apakah gadis dalam pelukannya ini akan tetap mampu menceritakan ayahnya dengan mata berbinar-binar bangga, tanpa dihiasi dengan genangan air di matanya.
Rayna menekan sambil sesekali memukul dadanya pelan dengan tangannya. Ada rasa kehilangan yang amat besar di dalam sana. Dadanya sesak, seolah-olah ada yang memasukkan bebatuan tajam di dalamnya.
Ya Allah. Sungguh, dia ingin tetap tersenyum di hadapan teman-teman yang entah bagaimana bisa datang mengunjunginya hari ini. Dia masih ingin berkata pada mereka semua bahwa dia baik-baik saja. Dia ingin tetap menjadi Rayna yang ceria di hadapan mereka, seperti yang selalu diajarkan oleh ayahnya.
Tapi apa daya, kesedihan yang beberapa hari ini ia tahan karena tidak ingin membuat teman-temannya khawatir, tak lagi bisa terbendung ketika ia harus menghadapi sebuah kenyataan pahit. Sebuah kenyataan yang rasanya sungguh berat untuk ia pikirkan dalam kepalanya. Sebuah kenyataan pahit bahwa ayahnya, ayah yang selama ini menjadi buku diary pribadinya, ayah yang selalu menjadi bank solusi untuk semua masalahnya, ayah yang selalu menjadi supporter utama untuk semua semangat-semangatnya, hari ini harus pergi meninggalkannya.
Ya Allah, kenyataan apa lagi yang lebih menyedihkan daripada itu.
Hidupnya entah bagaimana akan terasa ketika dia sadar bahwa tidak ada ayah yang tersenyum di sampingnya. Entah cukup kuatkah dia untuk kembali bercerita mengenai ayah di depan kelas tanpa linangan air mata. Entah cukup tegarkah dia menjawab ketika seseorang bertanya tentang siapa ayahnya. Entah mampukah ia melakukan segala hal yang dulu selalu ia lakukan bersama ayahnya. Mampukah gadis itu melakukannya dengan senyuman, seperti yang selalu diajarkan oleh ayahnya yang luar biasa.
***
“Ternyata beberapa hari sebelum meninggal, ayahnya sakit keras. Sebab itulah Rayna terlihat gelisah, meskipun ia masih mampu tersenyum,” ujar Kakak Mentoring ketika mereka berkumpul dalam lingkaran yang sama. Hanya saja kali ini tidak ada Rayna di sana, yang biasanya mampu menyumbangkan berbagai ide cemerlang untuk menyelesaikan masalah teman-temannya.
Justru sebaliknya, sekarang giliran teman-temannya untuk menyumbangkan ide cemerlang mereka agar bisa sedikit menghibur Rayna.
“Ya Allah, nggak nyangka rasanya kejadian kayak gini bakal terjadi sama Rayna,” ujar Lilac. Di pikirannya masih terbayang betapa besar jasa gadis itu dalam membantunya menyelesaikan masalahnya dulu. Dan sekarang dia merasa bersalah karena bahkan tidak mampu untuk menghibur gadis itu yang sedang berduka.
“Bagaimana pun caranya, kita harus bisa buat Rayna ketawa lagi,” tekad Rika. Dalam benaknya juga terbayang usaha Rayna dalam membuat perdamaian dengan Ressta dan persahabatannya dengan Oki kembali utuh. Dan sekarang gilirannya untuk membantu gadis itu.
“Ya Allah, padahal dulu Nissa penasaran banget liat wajah Rayna kalau nangis atau marah. Tapi dia nggak pernah marah sekalipun. Dan sesekali pengen banget rasanya ngusilin dia untuk merubah salah satu senyumnya itu jadi cemberut. Tapi sekarang Nissa merasa bersalah pernah punya niat kayak gitu. Dia... terlalu baik untuk menanggung musibah sehebat itu,” timpal Annisa.
“Justru karena dia sangat baik Allah beri dia musibah seberat itu, sebab Allah tahu, Rayna lebih dari sekedar mampu untuk bisa mengatasi musibah itu. Sekarang tugas kita adalah mengembalikan keceriaannya lagi. Seperti dia mengembalikan keceriaan di rohis kita,” jelas Kakak Mentoring sambil tersenyum, yang disambut oleh anggukan setuju oleh para akhwat yang lain.
***
Seluruh akhwat datang kembali mengunjungi rumah duka itu. Dan sama seperti sebelumnya, suasana di rumah itu cukup sibuk. Tenda besar serta kursi-kursi masih tersusun rapi di sana.
Mereka melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Dan tatapan mereka langsung tertuju ke arah seorang gadis di sudut ruagan. Melamun. Dengan posisi yang sama seperti terakhir kali mereka datang. Posisi yang sama selama enam hari berturut-turut.
Entah kenapa ketika melihat sosok gadis itu yang sekarang seperti melihat sosok orang yang berbeda. Gadis itu terlihat begitu kosong. Tanpa jiwa. Berbeda dengan dirinya yang selama ini terlihat ceria. Namun senyum ceria yang selalu bermain di bibir gadis itu seakan menghilang tanpa bekas.
Ini sudah hari ke tujuh, dan kesedihan gadis itu belum juga berkurang sedikitpun. Gadis itu terlihat tidak rela dengan kepergian ayahnya yang tiba-tiba.
Ini tidak benar.
Gadis itu tidak boleh berduka terlalu lama.
“Rayna,” panggil Kakak Mentoring sambil menyentuh pundak gadis itu pelan.
Gadis itu terlonjak. Kaget.
“Ikut kami sebentar yuk?” ajak Kakak Mentoring.
“Eh, kemana kak?” tanyanya bingung. Meskipun sudah berjam-jam ia habiskan waktunya untuk melamun, tapi rasanya masih belum cukup. Dan ia memerlukan waktu lebih banyak.
“Ikut saja sebentar. Yuk?”
Gadis itu bangkit berdiri dari posisi duduknya. Kakinya terasa kaku sekali. Sudah berapa jam yang ia habiskan untuk duduk di sana?
“Ayo duduk di sini,” ajak Kakak Mentoring. Menyuruh gadis itu duduk di sofa yang di letakkan di luar rumah.
“Rayna, kakak mau tanya. Kamu belum bisa merelakan kepergian ayah kamu, kan?”
Rayna tidak menjawab.
“Ummi kamu pernah bilang sama kakak, kalau kamu selalu menghabiskan waktumu untuk menangis. Kamu bahkan sampai tidak tidur semalaman dan hanya memandingi foto ayahmu sambil menangis. Iya kan?”
Gadis itu terdiam dengan kepala tertunduk. Air matanya serasa akan jatuh kembali. Padahal dia sudah menangis semalaman.
Dia tidak tahu bahwa umminya mengetahui hal itu. Padahal dia sengaja menangis sepanjang malam agar tidak membuat umminya khawatir.
“Ummi kamu juga bilang kalau kamu nggak mau makan.”
Untuk hal yang satu itu dia tidak bisa berbuat apa-apa. Lidahnya seakan mati rasa setelah malam memilukan enam hari yang lalu itu.
“Jangan berduka berlebihan seperti ini Rayna. Itu tidak baik. Kasihan orang yang kamu tangisin itu, mereka pasti merasa sakit di alam sana.”
Kali ini gadis itu mengangkat kepalanya kaget. Kalimat itu adalah kalimat yang sama dengan yang diucapkan ayahnya pada malam kematian adiknya.
Sebenarnya Rayna adalah sulung dari dua bersaudara. Dia memiliki seorang adik laki-laki dengan perbedaan umur dua tahun. Mereka berdua sangat dekat. Selama 11 tahun hidup bersama, mereka belum pernah sekalipun bertengkar.
Hingga suatu hari, Allah memanggil adiknya lebih cepat dari yang pernah ia bayangkan. Adiknya meninggal akibat penyakit leukimia.
Dulu, Rayna lebih dekat dengan Ummi dibandingkan Ayah. Sedangkan adik laki-lakinya lebih dekat dengan Ayah dibandingkan Ummi. Tapi hal itu berubah ketika adik laki-lakinya meninggal dan berpesan untuk menggantikannya menjaga Ayah dan Ummi. Adik kecilnya itu dengan polosnya berkata bahwa Rayna harus menggantikannya untuk menjadi teman dekat Ayah. Agar Ayah tidak kesepian.
Karena janji itulah, Rayna menjadi amat dekat dengan ayahnya.
Ketika adiknya meninggal dunia, Rayna ingat betapa dia tidak bisa terima dengan kenyataan yang dihadapinya. Dia ingat betapa dia terus menangis dan meronta ketika pemakaman adiknya berlangsung. Dia ingat betapa dia benar-benar merasa kehilangan saat itu. Persis seperti rasa kehilangan yang saat ini dirasakannya.
Tapi saat itu ada ayah di sampingnya.
Ayah mengatakan padanya bahwa ia tidak boleh bersedih terlalu berlebihan. Karena hal itu akan menyakiti adiknya di alam sana.
Karena penghiburan yang tiada henti dari Sang Ayah, Rayna bisa kembali bersikap ceria. Padahal, seharusnya dialah yang menghibur Ayahnya. Sebab kesedihan yang ayahnya rasakan pasti lebih besar dibandingkan kesedihannya.
Tapi ayah tidak pernah menangis di depannya. Meski pun Rayna tahu seberapa besar rasa kehilangan yang ditanggung oleh beliau.
Saat itu ayah mengajarkannya untuk selalu bersikap ceria. Sebesar apapun masalah yang sedang dihadapi.
Tapi bagaimana gadis itu bisa bersikap ceria jika yang dipanggil oleh Allah kali ini adalah orang yang mengajarkan arti keceriaan itu sendiri. Bagaimana gadis itu masih bisa bersikap ceria jika dia harus kehilangan orang yang dicintainya untuk yang kedua kalinya.
Dan dia bahkan tidak berani membayangkan akan seperti apa dirinya jika suatu saat nanti Ummi juga dipanggil oleh Allah.
“Ayah... katakan pada Rayna bagaimana caranya agar bisa bersikap ceria seperti yang ayah ajarkan. Rayna tidak mau menyakiti ayah hanya karena Rayna menangis terus—terusan di sini. ajarkan Rayna cara bersikap ceria ayah,” pintanya dalam hati.
“Kamu hanya perlu tersnyum,” ujar Kakak Mentoring, seakan menjawab pertanyaannya.
Dan dia yakin bahwa ayahnya juga pasti akan mengatakan hal yang sama.
Gadis itu tersenyum. Senyum pertama sejak hari awal masa berkabungnya.
***
“Assalamu’alaikum,” sapa seorang gadis dengan nada ceria.
Semua orang menoleh kaget ketika mendengar suara yang familiar itu.
“Rayna,” seru mereka ketika melihat gadis itu berdiri di hadapan mereka.
Baru satu hari berlalu sejak mereka semua menghiburnya hari itu. dan gadis itu sudah datang ke sini keesokan harinya. Benar-benar luar biasa.
Wajah gadis itu terlihat lebih segar dan ceria. Sepertinya gadis itu sudah bisa mengatasi rasa kehilangannya yang mendalam.
“Gimana perasaan kamu? Udah mendingan?” tanya Annisa. Dia benar-benar bahagia bisa melihat senyum gadis itu merekah kembali.
Tujuh hari. Hanya butuh tujuh hari bagi gadis itu kembali bersikap ceria. Jika dirinya yang ada di posisi gadis itu, dia tidak tahu akan jadi seperti apa dirinya.
Mungkin ucapan Kakak Mentoring waktu itu adalah benar.
Gadis ini, lebih dari sekedar mampu untuk mengatasi musibah seberat itu.
“Sudah lebih baik berkat penghiburan dari kalian semua,” sahutnya, bergabung dalam lingkaran yang sudah beberapa hari ia tinggalkan.
“Ya ampuun, kamu benar-benar bikin kita semua cemas, tahu nggak,” sahut Rika sambil mencubit pipi gadis itu gemas.
“Hehehe. Maaf kak,” jawab gadis itu dengan kedua jari terangkat membentuk tanda damai.
“Ah, ada salam dari Ummi. Beliau bilang terima kasih banyak sudah menghibur anak gadisnya yang cengeng,” sampai gadis itu sambil terkekeh.
“Wa’alaikumsalam,” jawab mereka semua serempak.
“Ummi sehat kan, Ray?” tanya Kakak Mentoring.
“Alhamdulillah sehat kak,” jawab gadis itu, di dalam hati berjanji akan menjaga umminya baik-baik dan tidak akan membuat umminya khawatir lagi.
Dan juga teman-teman yang saat ini duduk di hadapannya. Allah mengirimkan mereka sebagai pengganti ayahnya yang berharga. Setelah ayahnya tiada, mereka semualah yang nanti akan menggantikan ayahnya untuk menghiburnya. Mereka semua juga yang akan menjadi buku diary, dan bank solusi untuk semua masalahnya. Ada 12 orang di lingkaran ini, yang siap membantunya kapan saja.
Dan juga.... Allah.
Buku diary serta bank solusi utama. Dalam hidupnya.
***Finish***
0 komentar:
Posting Komentar