Sabtu, 23 Juli 2016

The Nosebleed






Darah.
Salah satu hal yang dibenci gadis itu di atas dunia. Tapi sialnya, darah yang dibenci gadis itu malah meluncur deras dari hidungnya. Setiap hari.
Yah, dia tahu itu disebut mimisan, gadis itu hanya... tidak menyukai sebutan itu. Kata mimisan... terdengar mengerikan di telinganya.
Awalnya gadis itu hanya mengabaikannya dan mencoba berpikir bahwa hal itu terjadi hanya karena dia kelelahan. Tapi semua pikiran positifnya hilang sudah ketika hal itu berlangsung setiap hari.
Dan ketakutannya memuncak, ketika dia yakin bahwa darah yang keluar—oh baiklah, namanya mimisan—itu bukan karena gadis tersebut kelelahan. Karena darah itu bahkan mengalir keluar ketika dia baru bangun tidur. Kegiatan yang menurutnya tidak menguras tenaga sama sekali.
Hari ini hujan. Aktivitas alam yang paling disukainya. Tapi kenapa darah yang sangat dibencinya malah keluar pada saat-saat hal yang paling disukainya turun?
Dan entah kenapa di saat-saat seperti ini gadis itu mendadak bergidik ngeri membayangkan berbagai macam penyakit yang mungkin saja diidap oleh tubuhnya tanpa sepengetahuannya sendiri.
Lalu sekarang apa? Periksa ke rumah sakit?
Dan itu berarti dia harus dengan sukarela melangkahkan kakinya ke dalam bangunan yang beraroma mengerikan itu. Rumah sakit.

Feel Guilty





Gadis itu menyayangi teman-temannya. Sangat.
Mereka adalah karunia Allah dan merupakan bagian hidup yang tak terpisahkan dari dirinya. Dia mampu memaafkan mereka semua bahkan jika mereka telah menyakiti atau melukai perasaannya. Dia masih bisa tersenyum jika orang yang menyakitinya itu adalah temannya.
Tapi bagaimana jika yang menyakiti teman-teman yang disayanginya itu adalah dirinya sendiri?
Hari ini gadis itu melukai tangan temannya tanpa sengaja. Temannya mengejutkannya dengan menyentuh tengkuknya dan membuatnya merasa geli. Karena kaget, gadis itu refleks berdiri sambil berusaha menjauhkan tangan temannya itu dari tengkuknya yang terasa merinding.
Memang, semua terjadi begitu cepat dan peristiwa itu terjadi bukanlah kesalahannya. Tapi fakta bahwa kukunya telah meninggalkan luka gores di tangan temannya itu membuatnya entah bagaimana merasa marah pada dirinya sendiri.
Dia melukai temannya. Tanpa sengaja memang, tapi berhasil membuat segala rasa bersalah dalam dirinya memuncak dan berubah menjadi air mata. Tapi sialnya, air mata dari rasa bersalah dan penyesalannya berubah menjadi luka baru bagi temannya.
Karena kerapuhan jiwa yang tak sanggup dibendungnya, dia terus menangis dan menimbulkan begitu banyak konflik bagi teman-temannya.
Akhirnya gadis itu menyadari, bahwa air matanya adalah pedang, yang mampu mengundang segala bentuk pertengkaran. Seperti yang terjadi kemarin dan beberapa bulan silam.

Flash back
Beberapa bulan yang lalu...

Gadis itu memandang seksama belalang besar yang ada di hadapannya. Dihadapan temannya lebih tepatnya. Dia tidak mau dan tidak akan pernah berada dalam jarak dekat dengan serangga berukuran besar. Karena hewan-hewan itu entah bagaimana mampu membuat seluruh bulu kuduknya meremang.
Serangga hijau besar itu—oh baiklah, namanya belalang—berpindah ke tangan temannya yang lain. Saat itu gadis tersebut merasa cukup lega, karena belalang besar itu tidak lagi berada di depannya dan berhenti membuatnya merinding.
Tapi tiba-tiba, teman-temannya berseru bahwa belalang itu hinggap di punggungnya. Karena rasa ngeri serta takut yang menjalar dengan cepat, gadis itu melompat, melonjak-lonjak seperti orang gila, berusaha sekuat tenaga mengenyahkan belalang itu dari punggungnya. Kelakuan anehnya itu tentu saja menimbulkan tawa dari teman-temannya yang lain. Barulah ketika belalang itu berhasil diambil oleh temannya, dia mulai menyadari bahwa dadanya terasa begitu sesak dan tubuhnya terasa lemas sekali.
Dia masih ingat dengan jelas betapa ketakutan akan belalang besar itu telah membuat tubuhnya bergetar hebat. Dan tanpa bisa dikendalikan, air matanya merebak, membuat tubuhnya berguncang hebat karena isakan dan bercampur dengan getaran hebat yang ditimbulkan oleh belalang besar itu.
Semua temannya mulai merasa cemas dan merasa khawatir, tidak menyangka akan reaksi mengejutkan yang diperlihatkan gadis itu. Tentu saja, mana ada manusia yang bisa berguncang hebat seperti itu hanya karena seeokar belalang? Reaksi gadis itu menimbulkan berbagai kecemasan, hingga menyebabkan aksi salah menyalahkan.
Salah seorang teman laki-laki gadis itu, menyalahkan seorang laki-laki yang merupakan anak baru di kelas itu. Anak baru itu membantah bahwa dia sama sekali tidak sengaja melempar belalang itu ke punggung gadis tersebut. Tapi teman laki-lakinya itu bersikeras bahwa anak baru ini bersalah dan menyuruhnya meminta maaf.
Dan pertengkaran pun tak bisa dihindarkan.
Nyaris saja terjadi baku hantam jika teman-teman yang lain tidak segera melerai mereka.

**
Air mata gadis itu dengan cepat mengundang perkelahian.
Dan gadis itu baru menyadarinya hari ini. Ketika dia menghabiskan berbelas-belas menit untuk menangis.
Benar. Dia menangis cukup lama, sehingga teman-temannya juga ikut pulang lebih lama hanya untuk menenangkannya yang terisak, membuatnya lagi-lagi merasa bersalah.
Karena menanggung rasa bersalah itu, amat berat baginya. 


The Existence



Assalamu'aikum warrahmatullahi wabarakaatuh..
Apa kabar Rainer's? Sehatkah? :)

Hari ini saya mau posting sebuah potongan cerpen. Jadi di cepen ini ceritanya Rayna adalah seorang anak dari sebuah keluarga kaya. Namun entah kenapa kehadirannya tak pernah diharapkan oleh keluarganya sendiri, padahal selama ini dia selalu berusaha bersikap baik dan tak pernah mengeluh. Tapi tetap aja sang keluarga benci setengah mati sama gadis baik ini. 

Jadi, entah kenapa saya tiba-tiba terpikir untuk membuat potongan adegan ini. Adegan dimana semua tangis yang ditahannya selama ini pecah. Hahaha.. terkadang ide di kepala saya memang nggak masuk akal dan sering nggak tau tempat. Mana munculnya cuma setengah lagi -,- 
Hahaha..
Pokoknya maafkan ketidakjelasan tulisan ini ya, salahkan saja inspirasi di kepala saya yang hanya nongol setengah, kemudian ngilang -__-

Hahahhaa, selamat membaca~



The Existence


Gadis itu termenung di hening kamar. Memeluk lutut yang tertekuk sambil menatap kosong ke arah dinding polos bewarna putih di hadapannya.

Terdengar dentingan sendok dan piring di kejauhan. Seperti biasa, keluarganya tengah menyantap makan makam bersama. Tanpanya.

Gadis itu tahu, bahkan tanpa ada seorangpun yang memberitahunya.
Kehadirannya tak diinginkan.
Keberadaannya tak diperlukan
Kedatangannya tak dibutuhkan.

Mungkin tidak masalah jika hal ini diterimanya dari orang lain. Dia mungkin masih bisa bersabar dan tetap memasang senyum di setiap langkahnya.

Tapi bagaimana jika kali ini dia berhadapan dengan keluarganya sendiri. Orang-orang terdekat yang harusnya mengerti dirinya dengan baik. Bukankah dia juga bagian dari keluarga ini? Tapi kenapa seluruh keluarga bahkan menginginkannya tak tercipta.

Gadis itu tahu bahwa dia bahkan tidak memiliki keistemewaan apapun. Setidaknya dia cukup tahu diri untuk menyadari bahwa dia tidak memiliki sesuatu apapun untuk dibanggakan.

Tapi gadis itu yakin bahwa dia sudah bekerja keras. Dia yakin sudah berusaha yang terbaik. Melakukan segala yang dia bisa. Memberikan segala waktu yang dimilikinya. Untuk keluarga ini. Agar setidaknya mereka semua menoleh ke arahnya, dan mulai menyadari kehadirannya.

Tapi ketika semua letih dan kerja kerasnya bahkan tak memiliki makna di dalam keluarga yang dikasihinya, segalanya menjadi berantakan.
Perlahan, dunia mulai terlihat menakutkan.
Perlahan, semua orang berubah mengerikan.
Perlahan, lingkungan menjadi labirin yang menyesatkan.

Kemudian segalanya runtuh.
Kesabaran.
Ketabahan.
Keceriaan.
Bahkan segala impian.

Dan gadis itu tenggelam. Tersesat di antara dalamnya buih lautan.
Tanpa cahaya.
Tanpa sinar.
Tanpa terang.

Gadis itu kemudian menyadari satu hal.
Bahkan jika dia menjadi malaikat sekalipun, takkan pernah ada tempat baginya di keluarga ini.