Jumat, 04 April 2014

Kisah Pendeta Taat Ibadah yang Terjerumus Hasutan Syaitan





Alkisah di zaman dahulu ada seorang pendeta yang bernama Bashisha, ia dikenal sebagai ahli ibadah yang tidak mengenal lelah. Ia gemar sekali melakukan ibadah tanpa putus-putus, seluruh waktunya tercurahkan hanya untuk beribadah kepada Allah SWT.

Disamping itu, ia juga dikenal sebagai orang yang baik dan terpuji oleh masyarakatnya. Banyak sekali orang yang datang kepadanya sekedar meminta petuah atau meminta tolong agar terbebas dari kesusahan yang di deritanya. Karena memang konon orang suci seperti Bashisha, banyak mendapat karomah yang dapat digunakan untuk kebaikan sesama.

Namun syaitan adalah makhluk yang paling benci pada orang yang melakukan rukuk sujud. Melihat itu hati syitan atau iblis pun menjadi mendidih. Segala upaya kemudian dilakukan untuk menggoda sang pendeta, tapi sang pendeta tetap bertahan dengan ketaatannya, ia tetap melakukan ibadah siang malam tak henti-henti.

Syaitan pertama telah jemu merayu, syaitan kedua pun dibuat frustasi dan putus asa sebab bujuk rayunya tidak mempan. Di susul kemudian syaitan yang ketiga, empat dan lima, namun kesemua hasilnya tetap nihil. Syaitan-syaitan yang gagal tersebut lantas berkumpul dan melaporkan hasil usahanya pada sang pemimpin syaitan. Berdasakan laporan tersebut, sang raja syaitan semakin tertantang dan penasaran, maka ia membuat instruksi tegas pada perserikatan syaitan itu untuk tetap membujuk dan menggoda Bashisha.

Kemudian rombongan syaitan berkumpul dan bermusyawarah untuk mencari tahu lebih dulu kelemahan Bashisha. Namun, hal itu tidak juga dapat segera diketahui. Pendeta yang satu ini sangat teguh pendirian, sulit dirayu maupun digoda. Bashisha pun tetap beribadah tekun dan tetap berserah diri pada Allah dengan ikhlas.

Pada suatu hari terdapat empat orang bersaudara yang tinggal tak jauh dari tempat tinggal Bashisha. Empat bersaudara tersebut terdiri atas tiga orang laki-laki dan satu perempuan. Suatu saat ketiga laki-laki tersebut mendapat panggilan untuk mengikuti jihad fisablilillah. Dan ketiganya merasa terpanggil untuk berangkat ke medan laga. Persoalan timbul ; Bagaimana dengan adik perempuan mereka satu-satunya itu?

Akhirnya ketiga laki-laki ini bermufakat untuk menitipkan saudara perempuan yang satu-satunya itu kepada pendeta suci Bashisha. Berangkatlah mereka bertiga menemui Bashisha di kediamannya. Awalnya sang pendeta menolak untuk dititipi sang gadis. Namun, karena kebaikan dan ke-ikhlasannya dalam membantu orang lain, akhirnya sang pendeta setuju.

Awalnya, Bashisha memang tidak mempunyai perasaan apa-apa pada sang gadis kecuali keikhlasan untuk menolong saja. Ia pun tetap menjalankan rutinitas ibadahnya dengan tekun, sambil menjaga gadis itu. Bashisha senantiasa menjaga dan mengawasi gadis itu dari dalam rumahnya, sementara si gadis di tempatkan di kuil kecil yang berdekatan dengan kuilnya.

Rombongan syaitan mulai mencium keadaan ini. Mereka kembali bersemangat untuk menggoda dan merayu Bashisha. Akan tetapi, bujukan dan rayuan tersebut untuk sementara dapat dengan mudah di tangkis oleh sang pendeta, sehingga syaitan-syaitan tersebut menjadi jengkel dan kewalahan.

Tapi memang sudah menjadi sifat syaitan tidak mau kalah, mereka melakukan serangan dari berbagai sudut dan menggunakan beribu cara. Kali ini mereka datang bukan dengan bujukan langsung, melainkan dengan bujukan halus seolah menunjukkan pada sang pendeta tentang rasa tanggung jawab yang besar.
Mula-mula ia membisikkan pada pendeta untuk melihat gadis itu. Dengan alasan sebagai tanggung jawab karena sudah di titipi amanat. Bujukan syaitan itu akhirnya memenuhi rongga dada sang pendeta. Kemudian pendeta tersebut segera pergi ke kuil kecil tempat gadis itu berada.

Ketika pintu dibuka oleh si gadis, seketika terteraplah pandangan keduanya. Keduanya tanpa sadar saling berpandangan. Sejak saat itu, pendeta Bashisha menjadi sulit untuk melupakan wajah si gadis. Memang saat itu pendeta dengan cepat meninggalkan kuil kecil tersebut dengan maksud untuk menghindari tatapan itu lebih lama.

Namun syaitan memang licik, ia terus menerus membisikkan tentang kecantikkan dan keelokan gadis tersebut. Hingga tiap malam sang pendeta menjadi sulit tidur bukan karena berdo'a kepada Allah, namun dikarenakan melamun membayangkan wajah si gadis.

Syaitan berteriak gembira karena merasa mendapat celah untuk menggoda sang pendeta. Dia pun kembali membisikkan kepada sang pendeta untuk berbincang-bincang pada si gadis. Hasutan tersebut dengan mudah mempengaruhi sang pendeta.

Saat ini pendeta itu semakin sering berjumpa dan bercakap dengan si gadis. Dan hal itu menumbuhkan rasa cinta di antara keduanya. Mereka berdua semakin di kuasai nafsu hingga akhirnya melakukan zina. Akibat perbuatan itu sang gadis menjadi hamil dan kemudian melahirkan seorang bayi.

Dan setan pun kembali membisikkan rasa takut dalam dada sang pendeta. Bagaimana jika ketiga saudara si gadis kembali dari jihad fisabilillah. Sang pendeta menjadi ketakutan akan hal itu. Pendeta Bashisha di bujuk untuk membunuh wanita itu. Dan jika tiga bersaudara itu bertanya dimana adiknya, syaitan menyuruh sang pendeta untuk mengatakan bahwa wanita itu sudah mati. Syaitan bahkan meyakinkan sang pendeta bahwa tiga bersaudara itu pasti akan mempercayai ucapan sang pendeta karena pendeta itu adalah orang terpecaya.

Tanpa pikir panjang, pendeta itu pun membunuh wanita itu beserta bayinya. Lantas mayatnya dikubur dalam sebuah lubang yang di tutup dengan batu. Untuk sesaat pendeta tersebut merasa lega.

Dugaan pendeta ternyata benar. Setelah jihad fisabilillah usai, tiga pemuda tersebut menghadap pendeta untuk menjemput kembali adiknya. Namun, dengan berpura-pura sedih sang pendeta bercerita bahwa saudari perempuan mereka sudah mati menghadap Allah SWT. Ketiga pemuda itu percaya saja ucapan sang pendeta dan menangis sejadi-jadinya sambil mengucapkan "Inallillahi wa ina Ilaihi raji'un." Kemudian ketiga pemuda tersebut pulang dalam perasaan sedih yang mendalam.

Sesampainya di rumah ketiga pemuda itu tidur ditempatnya masing-masing. Tiba-tiba salah seorang pemuda bangun. Ia bermimpi bahwa sang adik ternyata di bunuh oleh pendeta dan dikuburkan di lubang dekat kuil. Ia menceritakan mimpinya kepada saudaranya yang satu, dan saudaranya itu juga bermimpi hal yang sama. Keduanya lalu menceritakan mimpi itu pada saudara yang satunya lagi, dan anehnya saudara itu pun juga mendapatkan mimpi yang sama.

Karena penasaran ketiga pemuda itu segera pergi k elubang dekat kuil seperti yang ada di dalam mimpi mereka. Dan benar saja. Mereka menemukan adik mereka beserta bayinya mati dalam keadaan mengenaskan.

Sementara itu pendeta Bashisha mulai ketakutan karena kedoknya terbongkar, ia berencana untuk bertobat dan memohon ampun kembali kepada Allah. Tapi syaitan kembali menghasut Bashisha, ia memanfaatkan kondisi Bashisha yang sedang panik dan terdesak.

Lalu, karena diiming-imingi bantuan oleh syaitan, Bashisha akhirnya bersedia menjadi pengikut syaitan dan bersujud pada makhluk terkutuk itu.

Begitulah kisah tentang pendeta yang taat itu. Ia yang awalnya taat bisa berubah menjadi pengikut syaitan karena terus di goda dan di hasut. Apalagi kita, yang imannya mungkin masih sebesar biji jagung. Jadi untuk itu sobat Rainers, ayo kita perdalam lagi keimanan kita. Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari godaan syaitan yang terkutuk. Amiiin J :D

Selasa, 25 Maret 2014

Wajah Teduh Milik Rayna - Part 6 (END)

PART VI (END)




Some Years Later.


Saat ini aku sudah lulus SMA dan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Sudah tiga tahun sejak terakhir kali aku masih mengemban ilmu di sekolah ini. Kini aku rajin sekali mengunjungi SMA ku dulu. Sebuah tempat dimana akhirnya aku berubah menjadi sosok yang lebih baik. Dan ternyata banyak hal yang berubah di SMA ini, mungkin bagiku ini adalah sebuah kejutan.

Pertama, Ibu Risa, wali kelasku dulu, ternyata beliau sudah menikah dan sudah berhijab, beliau juga sudah memiliki anak. Dan kejutan paling membahagiakan adalah, peraturan sekolah sudah berubah, kini seluruh siswi dan guru diwajibkan menggunakan kerudung. Aku senang sekali.

Dan ketika mataku menangkap dua orang siswi berkerudung berjalan beriringan di lapangan sekolah, mendadak pikiranku melayang pada gadis itu. Gadis berhati putih dengan segala kebaikan dan kelembutan yang melekat dalam dirinya serta wajah teduh yang selalu terpatri pada wajah berbingkai kerudung miliknya. Banar. Gadis itu. Rayna.

Aku sering bertukar kabar dengan Rayna. Dia bilang, ayahnya pindah tugas ke daerah Jawa. Jadi dia juga harus melanjutkan kuliah di sana. Dan ternyata dia mendapat beasiswa di UI. Alhamdullillah, aku turut senang mendengarnya.

Saat kelulusan aku menyampaikan ucapan terima kasihku padanya. Kuceritakan semua hal yang membuatku termotivasi untuk berhijab. Dan jawaban yang di berikannya membuatku meneteskan air mata.

Bukan karena kalimat itu begitu mengharukan, bukan juga karena kalimat itu mengandung makna yang dalam. Tapi yang membuatku meneteskan air mata ialah, karena kalimat itu diucapkan dengan begitu tulus, membuatku merasa berat untuk berpisah dengan wanita sebaik Rayna. Dia mengucapkan kalimat itu dengan begitu bijak disertai senyum manis yang memang tak pernah luntur dari wajahnya yang teduh.

“Ini bukan karena Rayna. Tapi karena diri Kayla sendiri yang memang sesungguhnya ingin berhijab. Rayna tahu Kayla gadis yang baik, karena itu Allah segera buka pintu hati Kayla agar segera berhijab. Mungkin Rayna hanya sebagai perantara saja.” Begitulah kalimat yang ia katakan padaku.

Jika diingat-ingat, kini aku sudah berubah 180 derajat. Jika diibaratkan dengan roda, aku yang dulu berada dibawah kini sudah berada diatas. Banyak sekali hal yang berubah seiring melekatnya hijab dalam diriku.

Aku yang dulu selalu tidur lagi selepas shalat subuh, kini bisa melakukan hal yang berguna seperti membaca Al-Qur’an atau buku. Kemudian, aku yang dulu shalat wajib selalu di akhir waktu, kini sudah terbiasa shalat di awal waktu.

Hobiku tetap tak berubah, aku masih suka membaca novel seperti dulu, namun tak seperti dulu yang setiap saat selalu membaca novel, kini aku sudah bisa mengatur waktuku dengan baik. Kapan saatnya membaca novel, dan kapan saatnya mengerjakan kegiatan lain. Dan semua perubahan itu dibantu oleh Rayna.

Suare bel sekolah mengagetkanku dan membuyarkan lamunanku. Aku melihat arloji di tanganku dan  sukses membuatku terkejut. Sudah berapa lama aku melamun? Gawat. Aku harus segera pulang.

Saat aku berjalan keluar pelataran sekolah, di depan taman bunga, disanalah ia berdiri. Dengan buju gamis berwarna biru muda dan kerudung berwarna pink lembut yang bergoyang anggun di tiup angin. Persis seperti pertama kali kami berjumpa.

Ternyata kota besar tempat dia tinggal tak mampu mengubah keteguhan imannya. Aku tahu, kota besar sudah biasa dengan pergaulan bebas dan fashion yang mengumbar aurat, tapi gadis ini masih tetap bertahan dengan keteguhan hijabnya. Hebat.

Dia tersenyum ke arahku dengan senyum biasa yang entah kenapa selalu tampak mempesona. Dan tak lupa wajah teduhnya yang khas itu, yang kurasa akan selalu terukir di wajahnya bahkan sampai dia tua dan maut menjemputnya.

Kini gadis itu sudah tampak lebih dewasa. Dengan kacamata baca yang entah sejak kapan bertengger manis di hidung mancungnya, membuatnya yang memang sudah pintar tampak jauh lebih pintar. Tubuhnya semakin tinggi dengan badan yang sangat ramping. Kulitnya masih sama seperti dulu. Putih.

Dia... gadis itu... malaikatku... Rayna.


***


Setelah pertemuan mengejutkanku dengan Rayna tadi, aku langsung membawanya ke cafe yang cukup terkenal di kota ini. Cafe ini dulu sering kali kukunjungi bersama Rayna. Tapi setelah dia melanjutkan kuliahnya di luar kota, aku jadi sedikit enggan kembali ke cafe ini. Rasanya hampa.

Jadi saat gadis ini kembali aku merasa sangat senang dan satu-satunya tempat mengobrol yang terpikir di kepalaku adalah tempat ini.

“Jadi? Bagaimana kabarmu?” sapaku memulai pembicaraan.

“Alhamdullillah baik. Kayla bagaimana?”

“Kayla? Alhamdullillah baik.”

“Syukurlah kalau begitu.”

“Hei, sejak kapan kamu memakai kacamata?” tanyaku penasaran.

“Hmmmm, sejak kuliah semester lima kalau tidak salah. Rayna terlalu sering membaca buku ditambah tugas kuliah yang mengharuskan mata Rayna menatap komputer sepanjang hari. Kenapa? Aneh ya?”

“Hahahaha. Tidak kok. Kamu terlihat manis.”

“Terima kasih,” ujarnya sambil tersipu.

 “Bagaimana kabar orangtuamu?”

“Mereka baik. Orang tua Kayla bagaimana? Sehat, kan? Abi dan Ummi titip salam buat Kayla dan orangtua Kayla.”

“Oh, kalau ibu sama ayah baik. Iya deh, nanti Kayla sampaikan. Oh ya, Rayna ada urusan apa di sini?”

Dia menghentikan kegiatan makannya sejenak. Lalu menatap wajahku heran.

“Loh? Rayna belum bilang, ya?”

“Bilang apa?”

“Rayna udah wisuda. Sekarang pengen lamar kerja. Jadi Rayna putusin buat kerja di sini aja.”

“Serius? Kok cepat banget?”

“Hahaha. Begitulah. Rayna ikut program semacam exelerasi gitu, jadi cuma kuliah tiga tahun.”

Yah, aku tahu dia pintar. Tapi tak kusangka dia sepintar ini. Hebat sekali.

 “Subhanallah. Kamu pintar sekali,” pujiku.

Dan seperti biasa, setiap pujianku selalu diresponnya dengan ucapan terimakasih atau senyum tipis.

“Kuliah Kayla bagaimana? Sekarang sudah semester berapa?”

“Kuliah? Cukup menyenangkan. Sekarang Kayla semester enam. Jadi selama disini Rayna akan tinggal dimana? Tinggal di rumah Kayla aja yuk? Mau?”

“Hahaha. Nggak bisa gitu dong. Nanti malah ngerepotin orangtua Kayla. Lagi pula Abi udah nyuruh Rayna tinggal di rumah yang lama.”

“Yaaaaah, padahal nggak ngerepotin kok.”

“Terima kasih. Tidak apa-apa kok. Lagi pula, udah lama Rayna pengen hidup mandiri.”

“Oh gitu. Ya udah deh. Oh ya, kamu tahu perubahan di SMA kita dulu, nggak?”

“Wah, kalau itu Rayna beluh tahu. Habis, tadi saat disana, Kayla langsung peluk Rayna, terus nyeret Rayna ke sini,” ucapnya pura-pura cemberut.

“Hehehe maaf. Habisnya Kayla senang banget bisa lihat Rayna lagi.”

“Jadi? Ada perubahan apa?”

“Peraturannya udah berubah loh. Sekarang seluruh siswi dan guru wajib menggunakan kerudung.”

Tangan gadis itu yang hendak menyuapi makanan ke mulutnya berhenti di udara. Menunda makanan itu lebih lama untuk segera di kunyah dan masuk ke dalam perut.

“Serius kamu?” tanyanya kaget.

“Tentu saja serius.”

“Alhamdullillah. Syukurlah kalau begitu.”

“Dan juga, ibu Risa sekarang juga udah...” 

“RAYNA?!” sapa seorang gadis dari arah samping.

“Loh Dina, Rezi, Mirna?”

“Waahh, senangnya bisa ketemu lagi sama Rayna.”

“Loh, kalian udah berhijab?” ucapku dan Rayna serentak.

“Heehehe. Iya. Ternyata hijab menyenangkan,” jawab Mirna sambil cengengesan.

Subhallah, akhirnya teman-teman seperjuanganku ikut berhijab. Dan hal ini pasti karena dukungan dan dorongan yang pernah diberikan Rayna dulu. Gadis ini benar-benar seperti malaikat.

Aku benar-benar bersyukur pada Allah karena sudah mempertemukanku dengan Rayna. Aku pasti akan selalu ingat jasa gadis itu. Jasa yang gadis itu berikan padaku sehingga aku bisa berubah menjadi gadis yang lebih baik. Aku juga takkan bisa melupakan kelembutan dan keanggunan hijab yang ia ajarkan padaku. Serta, takkan pernah kulupakan... wajah teduh berbingkai kerudung... milik Rayna.



END


Senin, 24 Maret 2014

Wajah Teduh Milik Rayna - Part 5

PART V






Three Day’s Letter.

At class, School


Sejak mendengar cerita Rayna siang itu, aku menjadi semakin bertekad untuk segera berhijab. Aku juga tidak mau kejadian pahit yang dialami Rayna menimpaku.

Baiklah. Sudah kuputuskan aku akan berhijab.

Pertama-tama dimulai dari baju. Kurasa aku lebih menyukai gamis daripada rok. Karena gamis sepertinya lebih simple. Tapi sayang, aku tak terlalu tahu mengenai gamis yang bagus. Bisa tidak ya, Rayna membantuku memilih gamis yang bagus.

“Assalamu’alaikum.”

Aha, akhirnya orang yang sejak tadi ditunggu, muncul juga.

“Wa’alaikumsalam.”

“Ah, bagaimana soal hijab? Sudah diputuskan?”

“Sudah. Kayla mau segera berhijab.”

“Alhamdullillah. Syukurlah kalau begitu.”

“Tapi Kayla butuh bantuan.”

“Insya Allah selalu siap membantu,” sahutnya dengan senyum lebar.

“Kayla kan, nggak punya baju tertutup. Nah, bisa tidak Rayna bantuin Kayla buat milih gamis yang bagus. Soalnya Kayla nggak tau apa-apa soal begituan.”

“Boleh. Kapan kita berangkat?”

“Hmmmm, besok saja gimana? Kebetulan besok minggu.”

“Benar juga. Insya Allah, Rayna tunggu Kayla di halte bus jam 8 pagi, oke?”

“Siip.”


***


Next Day

07.00 AM

Kayla’s Home.


Hari ini aku memutuskan untuk menggunakan kerudung dan gamis yang pernah ku kenakan malam itu. Kerudung berwarna turquoisedan gamis berwarna biru laut dan tak lupa kaus kaki berwarna cream. Saat keluar dari kamar, seluruh keluargaku yang tengah bersantai di ruang keluarga menatapku seolah aku orang asing yang tak dikenal.

“Jangan begitu dong lihatnya. Kayla malu nih,” ujarku dengan wajah merah padam.

“Subhanallah Kayla, kamu cantik sekali,” puji ibuku. “Tapi kenapa tiba-tiba menggunakan gamis itu. Kamu bilang tidak mau menggunakannya?” tanya ibuku heran.

“Kayla mau berhijab, Bu.”

“Serius kamu? Alhamdullillah. Akhirnya Allah buka pintu hati kamu,” sahut ayah riang.

“Jadi, kakak mau kemana?” tanya adik perempuanku yang masih berumur 6 tahun.

“Oh iya lupa bilang, Kayla mau pergi bareng teman buat cari gamis sama kerudung baru. Soalnya pakaian Kayla yang tertutup cuma ini.”

“Waah bagus sekali. Sini ayah tambahin uang kamu.”

“Enggak usah yah, Kayla pengen beli gamis sama kerudung untuk pertama kalinya pake tabungan Kayla sendiri.”

“Oh begitu. Ya sudah. Kalau begitu ayah belikan kamu gamis lain kali ya.”

Oke. Kalau gitu Kayla berangkat dulu ya, Yah, Bu, Assalamu’alaikum,” pamitku sambil mencium kedua tangan mereka.

“Wa’alaikum salam.”

Aku senang sekali. Ternyata hijabku disambut baik oleh keluargaku.


***


07.54 AM

At Halte Bis.


“Assalamu’alaikum,” sapaku pada Rayna yang duduk di kursi halte bus sambil membaca buku. Buku memang benda yang tak bisa lepas dari gadis satu ini. Hari ini dia terlihat cantik dengan gamis berwarna hijau toska yang dipadu dengan kerudung berwarna hijau lembut. Dan seperti biasa, wajahnya terlihat teduh.

“Wa’alaikumsalam. Ya ampun, ini kamu Kayla? Subhanallah. Kamu cantik sekali,” pujinya takjub.

“Terima kasih. Kamu juga manis sekali dengan gamis itu.”

“Hahaha. Terima kasih. Ayo berangkat.”

“Ayo.”


***


06.55 AM

At Class, School.


Aku menarika nafas dalam-dalam. Merasa gugup dengan penampilan baruku. Yap, ini hari pertamaku menggunakan seragam sekolah yang tertutup. Aku sedikit takut melihat reaksi teman-teman nanti.

Tapi Bismillah, kucoba kuatkan mental dan melangkah pasti menuju ruang kelasku.

Dan ternyata seluruh kelas mendadak diam saat mereka melihatku dalam balutan kemeja panjang, rok dalam hingga mata kaki, serta kerudung panjang yang melewati dada.

“Kayla? Woa, kamu cantik sekali menggunakan kerudung,” seru Dina histeris.

“Benar. Kamu cantik sekali. Terlihat sulit dijangkau,” canda Darma.

“Hehehe. Makasih.”

“Assalamu’alaikum,” sapa seorang gadis riang.

“Wa’alaikum salam,” jawab kami serentak.

“Tuuh, kembarannya Kayla udah datang,” celetuk Mirna sambil tertawa kecil.

“Nah, Kayla kan udah hijab, kalian kapan nyusul??” tanya Rayna.

“Tunggu aja, ntar kami nyusul kok,” jawab Rezi sambil menyungginggkan senyum.

“Bagus deh kalau gitu. Kami tunggu ya.”

“Okee.”

Ternyata reaksi mereka tak seperti bayanganku. Ternyata mereka menerima dengan baik perubahanku. Aku jadi tak sabar melihat reaksi nenek. Bagaimana pendapatnya mengenai hijabku ya??


***


Sore sepulang sekolah aku langsung pamit kepada ibu untuk pergi ke rumah nenek, dan ternyata yang kudapatkan di sana adalah sesuatu yang mengejutkan. Nenek ternyata sakit-sakitan. Dia bahkan harus opnamedi rumah sakit beberapa hari yang lalu.

Tapi aku merasa bersyukur bisa datang hari ini, nenek terlihat senang saat melihat wajahku dalam balutan kerudung berwarna turquoise pemberiannya dulu. Aku takjub melihat nenek, karena bahkan di saat umurnya sudah tua dan dalam keadaan sakit seperti ini, nenek tak pernah melepas kerudungnya. Membuatku semakin termotivasi untuk terus berhijab.

Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya penyakit nenek mulai membaik. Dokter bilang, hal ini dipicu oleh psikis nenek yang sangat baik dan perasaan nenek yang begitu bahagia. Dan hal itu mempercepat proses penyembuhan. Tapi aku tahu, kesembuhan pasti kehendak Allah SWT sebagai hadiah karena jiwa nenek yang selalu tabah.

Tapi aku penasaran tentang satu hal. Apa yang membuat nenek begitu bahagia? Dan saat aku menanyakan mengenai hal tersebut, aku benar-benar berterimakasih pada Rayna.

“Karena kamu sudah menggunakan kerudung dan berhijab. Tak ada yang lebih membahagiakan nenek selain melihat wajahmu dibingkai oleh kerudung.” Begitu jawaban nenek.

Tak kusangka reaksi nenek terhadap hijabku sampai sejauh ini. Dan aku menyadari, bahwa aku berhutang banyak pada Rayna. Karena gadis itulah aku bisa menjadi seperti saat ini. Menjadi gadis yang lebih baik.


To Be Continued


***


Minggu, 23 Maret 2014

Wajah Teduh Milik Rayna - Part 4







PART IV


09.00 PM

Kayla’s Home, at bed room.


Sebagai wanita muslimah aku tahu kewajibanku untuk berhijab dan selalu menutup rapat auratku. Tapi sayangnya aku masih belum punya kemauan untuk berhijab. Padahal hijab itu yang paling penting dari seorang wanita. Aku tahu hal itu, tapi entah kenapa rasanya sulit sekali untuk melaksanakannya. Ditambah lagi seragam sekolah yang memang tidak menuntut para siswa untuk menggunakan kerudung. Aku jadi semakin jauh dengan hijab.

Tapi saat melihat Rayna, aku merasakan sesuatu yang aneh. Aku merasa seperti disihir oleh hijabnya. Seolah hijabnya memerintahkanku untuk turut menutup rapat auratku.

Dan sejak melihat wajah teduhnya yang dibingkai oleh kerudung. Hatiku seakan tergerak untuk menutup rapat auratku dan berfikir ulang mengenai pakaian yang pantas digunakan oleh seorang wanita.

Tanpa sadar, aku beranjak ke lemari pakaianku dan mengambil sebuah kerudung pemberian nenekku saat ulang tahunku yang kesepuluh. Beliau ingin sekali melihatku menggunakan hijab sepertinya. Tapi saat itu aku menolak untuk mengikuti keinginannya.

Kerudung itu berwarna turquoisedengan hiasan bunga dan kupu-kupu di pinggirnya. Modelnya cukup panjang dan melewati hingga dada.

Aku menggunakan kerudung itu dan memandang diriku sendiri di depan cermin. Aku terlonjak kaget saat menyadari bahwa aku tak mengenali pemilik wajah yang terpantul di cermin saat ini.

Apa itu aku? Benar itu aku. Aku cukup yakin mengatakan bahwa gadis yang menggunakan kerudung berwarna turquoiseitu adalah aku. Hanya saja, aku tak menyangka bahwa wajahku akan berubah sedrastis ini. Tampak lebih cerah dan... teduh.

Kemudian aku mencoba menggunakan gamis polos berwarna biru laut pemberian ibuku. Baju ini masih sangat bagus karena memang tak pernah kukenakan sekali pun.

Dan saat gamis ini melekat di tubuhku, mendadak aku merasakan nyaman yang tak bisa kugambarkan seperti apa rasanya. Hanya saja, aku cukup percaya diri untuk mengatakan bahwa rasanya aku seperti dilindungi. Dilindungi oleh pakaian memang terdengar konyol, tapi seperti itulah kenyataannya. Aku merasa seperti dilindungi oleh ibuku, nenekku, dan juga... Allah SWT.


***


One week Letter

06.56 AM

At Class, School.


Sejak menggunakan gamis malam itu. Aku sering melamun. Aku ingin segera menggunakan kerudung dan berhijab. Tapi aku takut dengan reaksi orang-orang di sekitarku. Apa yang akan mereka pikirkan tentang aku yang awalnya berpakain terbuka, mendadak berpakain tertutup. Mereka pasti akan berpikiran buruk dan akan menggosipkanku. Belum lagi, aku masih belum tahu, apa sekolah mengizinkan seragam yang tertutup seperti seragam Rayna.

“Kayla,” tegur seseorang mengakhiri lamunanku.

“Eh, oh, ah, iya Bu?” tanyaku kaget saat menyadari ternyata Ibu Risa yang menegurku.

“Kenapa melamun? Ada masalah, ya?”

“Hehehe... Tidak kok. Ng, ada apa ya, Bu?” tanyaku penasaran. Kenapa ibu Risa datang ke kelas dan mendatangiku?

“Kemana Rayna?”

“Rayna belum datang. Memangnya kenapa, Bu??”

“Oh tidak apa-apa. Ibu hanya ingin menyampaikan bahwa Rayna diizinkan untuk menggunakan seragam yang tertutup. Tetapi corak seragamnya harus sama dengan corak yang sudah ditentukan oleh sekolah.”

“Oh begitu. Ya sudah, biar saya yang sampaikan.”

“Baiklah, terima kasih ya, Kayla.”

“Iya, sama-sama.”


***


“Assalamu’alaikum,” sapa seseorang kembali mengagetkanku.

“Eh, Wa’alaikum salam.”

“Kayla kenapa melamun?”

“Tidak apa-apa kok. Oh iya, tadi ibu Risa datag cari kamu. Dia bilang kamu diberi izin untuk menggunakan seragam yang tertutup, tapi dengan syarat coraknya harus sama dengan corak sekolah ini.”

“Benarkah?” tanyanya berbinar-binar.

Aku mengganggukkan kepalaku sekilas. Sepertinya dia benar-benar senang sekali bisa menggunakan kerudung. Mungkin aku bisa menceritakan kendalaku padanya.

“Alhamdullillah, syukurlah,” ucapnya lega.

“Hmmm, Ray, boleh tanya sesuatu, tidak??”

“Tentu.”

“Begini. Aku sudah memutuskan ingin menggunakan kerudung, tapi...”

“Benarkah? Subhanallah. Aku turut senang, Kay,” serunya histeris memotong ucapanku.

“Ng tapi ada sedikit kendala, aku sedikit takut dengan reaksi orang-orang disekitarku.”

Dan reaksi yang kudapatkan sangat mengejutkan. Dia tertawa. Gadis ini tertawa. Memangnya apa yang lucu?

“Kenapa tertawa?”

“Ah, maaf. Tapi kendala yang kamu alami persis seperti aku dulu.”

“Jadi, kamu juga pernah mengalami kendala saat berhijab?”

“Iya.”

“Lalu gimana cara kamu mengatasinya?”

“Entalah. Aku juga tidak ingat. Yang pasti saat itu, keberanianku mulai muncul saat sesuatu yang menakutkan datang padaku.”

“Memangnya apa yang terjadi?”

“Ceritanya panjang. Tapi intinya, saat itu aku hampir dilecehkan oleh kakak kelasku, tapi untung saja aku sempat diselamatkan sebelum pria bejat itu melakukan sesuatu yang buruk pada tubuhku,” ungkapnya murung dengan suara bergetar.

“Saat itu, aku baru saja kelas satu SMP dan menginjak masa pubertas. Jadi yang aku lakukan adalah bergaya sana-sini seperti teman-temanku yang lainnya. Dan ternyata yang kudapatkan adalah hal mengerikan seperti itu,” ceritanya dengan mata berkaca-kaca mengenang kembali masa menyakitkan itu.

“Lalu? Siapa yang menyelamatkanmu?”

“Entahlah. Kurasa dia kakak kelasku. Aku tak sempat mencari tahu. Karena setelah kejadian itu, aku minta pindah sekolah ke kampung halaman ibuku dan tinggal disana bersama nenekku. Aku bahkan tidak tau siapa nama wanita yang menyelamatkanku itu. Yang ku ingat hanyalah wajahnya yang teduh. Dia menggunakan kerudung. Saat menenangkanku di ruang UKS dia sempat menasehatiku agar bila besar nanti menutup auratku. Karena dia tidak bisa berlama-lama menemaniku, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih dan tidak sempat mencaritahu tentangnya, karena keesokan harinya, aku segera pindah sekolah,” ceritanya panjang lebar dengan mata menerawang, kurasa dia mencoba mengingat lagi wajah sang kakak kelas itu.

“Dan saat bersekolah di kampung halaman ibuku, aku memutuskan untuk menggunakan kerudung dan berhijab seperti yang disarankan oleh kakak itu. Aku juga tidak mau kejadian seperti itu terulang kembali. Dan ternyata, menggunakan kerudung dan berhijab sangat menyenangkan. Aku merasa seperti terlindungi oleh pakaian tertutup seperti itu.”

Rayna mengakhiri ceritanya dengan senyum tipis. Wajahnya yang terlihat sedih beberapa saat yang lalu entah menguap kemana. Dan entah kenapa aku merasa pemikiran Rayna sedikit serupa dengan pemikiranku. Kami sama-sama berfikir bahwa pakaian tertutup itu terasa seperti melindungi.


To Be Continued


***


Sabtu, 22 Maret 2014

Wajah Teduh Milik Rayna - Part 3




PART III


Friday

07.09 AM

At Class, School.


“Selamat pagi Anak-anak,” sapa ibu Risa, wali kelas kami.

“Pagi buuuuk,” jawab kami serempak.

“Pagi ini kalian mendapatkan teman baru. Ayo nak, mari masuk,” ujar ibu Rina memberitahu sambil mengajak masuk seorang murid perempuan.

“Ayo perkenalkan dirimu.”

“Assalamu’alaikum teman-teman,” sapanya sambil tersenyum tipis.

“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatu,” jawab seluruh kelas serempak.

“Perkenalkan, nama saya Rayna Islami. Kalian semua bisa panggil saya Rayna. Saya harap kita semua dapat berteman dengan baik. Mohon bimbingannya,” ujarnya memperkenalkan diri sambil terus memasang senyum yang sejak tadi tak pernah luntur.

Aku hanya bisa terpaku memandang gadis di depanku. Bukan karena dia begitu cantik sehingga membuat semua lelaki di kelas ini menjadi terpesona. Bukan juga karena dia begitu manis sehingga menjadi pusat perhatian seluruh gadis di kelas ini.

Hanya saja, ada sesuatu yang membuatku terpaku.

Wajah gadis ini begitu berbeda dari kebanyakan gadis lain yang pernah kutemui. Cara ia tersenyum, cara ia menyapa kami semua dengan ucapan salam halus yang meluncur dari bibir tipisnya, cara ia menggunakan kerudungnya yang dalam yang ia jujulurkan hingga menutupi dada. Semuanya berbeda.

Wajahnya teduh.

Mungkin wajah paling teduh yang pernah kulihat.

Dan yang semakin membuat mulutku terbuka lebar adalah ternyata dia adalah gadis yang kulihat kemarin. Karena tiba-tiba saja dia tersenyum padaku sambil melambaikan tangannya.

Ternyata dugaanku benar. Gadis ini adalah siswa baru di sekolah ini.

Dan entah kenapa saat melihat wajahnya, mendadak aku diliputi perasaan aneh. Sebuah perasaan kagum yang menuntunku ke sebuah jalan lurus milik Sang Ilahi.


***


“Assalamu’alaikum. Nama kamu siapa?” sapa Rayna dari arah samping.

Yap. Setelah perkenalan singkat tadi, ibu Risa menyuruh gadis berkerudung berwajah teduh ini untuk duduk sampingku. Waaahh, senangnya dapat teman baru.

“Wa’alaikumsalam. Namaku Kayla. Kayla Andini.”

 “Masya Allah. Namanya bagus sekali.”

“Terimakasih.”

Gadis itu hanya menjawabanya dengan senyum simpul dan mengarahkan pandangannya ke depan kelas. Dan sebentar lagi pelajaran guru paling killer di sekolah ini akan dimulai.


***


Semua murid mendadak diam saat Bu Kartini atau yang biasa di panggil Ibu Tini menginjakkan kakinya ke dalam kelas. Seperti biasa, beliau selalu menenteng buku Kimia di tangan kanannya dan menggenggam sebatang rotan di tangan kirinya.

Sudah jadi rahasia umum bahwa ibu Tini ini terkenal ganas. Saat beliau mengajar, tak ada seorang pun yang berani berbicara ataupun menyela. Saat ada murid yang mengantuk atau sudah sampai pada tahap tertidur, bu Tini akan menghentakkan rotan yang selalu di bawanya itu ke papan tulis dengan tenaga penuh. Dan murid yang tertidur itu, dijamin akan langsung meloncat dari dunia mimpinya yang indah menuju dunia nyata yang mengerikan karena disambut oleh teriakan spektakuler dari seorang guru yang terkenal ganas di sekolah ini.

Karena itulah, saat bel pergantian belajar berbunyi, para murid serentak mengusap dadanya lega, dan memijat pundak mereka yang tegang karena harus selalu melihat ke depan saat pelajaran ibu Tini.

“Kayla, Rayna boleh bertanya sesuatu tidak?”

“Tentu. Ingin bertanya apa?”

“Apa seragam sekolah disini memang ... ng ...”

“Tidak menggunakan kerudung maksudnya.”

Dia mengangguk.

“Ya. Apa peraturannya memang seperti itu. Apa memang harus menggunakan kemeja lengan pendek dan rok sebatas lutut?” tanyanya cemas.

“Setahu Kayla sih memang begitu,” jawabku sekenanya. Karena aku memang tak pernah melihat siswa sekolah ini menggunakan seragam yang tertutup. Lagi pula seragam dinas guru-guru pun juga tidak menggunakan kerudung

“Kalau begitu, bagaimana dengan Rayna. Rayna tidak mau menggunakan seragam seperti itu,” ucapnya sedih.

“Coba saja tanya sama ibu Risa. Siapa tahu ibu Risa bisa kasih solusi,” ujarku memberi saran.

“Ng, Afwan, eh maksudnya maaf,” ralatnya saat melihat wajah bingungku mendengar kata ‘afwan.’

“Bisa tidak antarkan Rayna kesana. Soalnya Rayna tidak tahu ruang majelis guru.”

“Tentu saja. Mari Kayla antar.”

“Terima kasih. Maaf merepotkan.”

“Sama-sama. Hahaha. Tidak apa-apa kok.”


***


Saat menuju ruang majelis guru, aku dan Rayna mendadak menjadi pusat perhatian. Sudah pasti bukan aku yang diperhatikan, tapi Rayna. Karena murid-murid di sekolah ini pasti sedikit asing dengan penampilan Rayna yang berpakain tertutup. Tapi hebatnya, Rayna sama sekali tidak merasa terganggu oleh pandangan para siswa itu. Dia tetap melangkah dengan anggun meskipun kakinya ‘dililit’ oleh sebuah rok panjang sampai ke mata kaki.

Lamunanku terhenti saat kami tiba di ruang majelis. Aku langsung menuntun Rayna ke meja ibu Risa dan menyampaikan keluhan mengenai seragam sekolah. Dan ibu Risa dengan senang hati membantu Rayna.

“Baiklah Rayna. Ibu mengerti. Nanti akan ibu tanyakan pada kepala sekolah dan guru kesiswaan, semoga saja sekolah mengizinkan kamu untuk terus berpakain tertutup seperti ini.”

“Syukurlah. Terima kasih banyak bu.”

“Iya, sama-sama.”


To Be Continued


***