Selasa, 25 Maret 2014

Wajah Teduh Milik Rayna - Part 6 (END)

PART VI (END)




Some Years Later.


Saat ini aku sudah lulus SMA dan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Sudah tiga tahun sejak terakhir kali aku masih mengemban ilmu di sekolah ini. Kini aku rajin sekali mengunjungi SMA ku dulu. Sebuah tempat dimana akhirnya aku berubah menjadi sosok yang lebih baik. Dan ternyata banyak hal yang berubah di SMA ini, mungkin bagiku ini adalah sebuah kejutan.

Pertama, Ibu Risa, wali kelasku dulu, ternyata beliau sudah menikah dan sudah berhijab, beliau juga sudah memiliki anak. Dan kejutan paling membahagiakan adalah, peraturan sekolah sudah berubah, kini seluruh siswi dan guru diwajibkan menggunakan kerudung. Aku senang sekali.

Dan ketika mataku menangkap dua orang siswi berkerudung berjalan beriringan di lapangan sekolah, mendadak pikiranku melayang pada gadis itu. Gadis berhati putih dengan segala kebaikan dan kelembutan yang melekat dalam dirinya serta wajah teduh yang selalu terpatri pada wajah berbingkai kerudung miliknya. Banar. Gadis itu. Rayna.

Aku sering bertukar kabar dengan Rayna. Dia bilang, ayahnya pindah tugas ke daerah Jawa. Jadi dia juga harus melanjutkan kuliah di sana. Dan ternyata dia mendapat beasiswa di UI. Alhamdullillah, aku turut senang mendengarnya.

Saat kelulusan aku menyampaikan ucapan terima kasihku padanya. Kuceritakan semua hal yang membuatku termotivasi untuk berhijab. Dan jawaban yang di berikannya membuatku meneteskan air mata.

Bukan karena kalimat itu begitu mengharukan, bukan juga karena kalimat itu mengandung makna yang dalam. Tapi yang membuatku meneteskan air mata ialah, karena kalimat itu diucapkan dengan begitu tulus, membuatku merasa berat untuk berpisah dengan wanita sebaik Rayna. Dia mengucapkan kalimat itu dengan begitu bijak disertai senyum manis yang memang tak pernah luntur dari wajahnya yang teduh.

“Ini bukan karena Rayna. Tapi karena diri Kayla sendiri yang memang sesungguhnya ingin berhijab. Rayna tahu Kayla gadis yang baik, karena itu Allah segera buka pintu hati Kayla agar segera berhijab. Mungkin Rayna hanya sebagai perantara saja.” Begitulah kalimat yang ia katakan padaku.

Jika diingat-ingat, kini aku sudah berubah 180 derajat. Jika diibaratkan dengan roda, aku yang dulu berada dibawah kini sudah berada diatas. Banyak sekali hal yang berubah seiring melekatnya hijab dalam diriku.

Aku yang dulu selalu tidur lagi selepas shalat subuh, kini bisa melakukan hal yang berguna seperti membaca Al-Qur’an atau buku. Kemudian, aku yang dulu shalat wajib selalu di akhir waktu, kini sudah terbiasa shalat di awal waktu.

Hobiku tetap tak berubah, aku masih suka membaca novel seperti dulu, namun tak seperti dulu yang setiap saat selalu membaca novel, kini aku sudah bisa mengatur waktuku dengan baik. Kapan saatnya membaca novel, dan kapan saatnya mengerjakan kegiatan lain. Dan semua perubahan itu dibantu oleh Rayna.

Suare bel sekolah mengagetkanku dan membuyarkan lamunanku. Aku melihat arloji di tanganku dan  sukses membuatku terkejut. Sudah berapa lama aku melamun? Gawat. Aku harus segera pulang.

Saat aku berjalan keluar pelataran sekolah, di depan taman bunga, disanalah ia berdiri. Dengan buju gamis berwarna biru muda dan kerudung berwarna pink lembut yang bergoyang anggun di tiup angin. Persis seperti pertama kali kami berjumpa.

Ternyata kota besar tempat dia tinggal tak mampu mengubah keteguhan imannya. Aku tahu, kota besar sudah biasa dengan pergaulan bebas dan fashion yang mengumbar aurat, tapi gadis ini masih tetap bertahan dengan keteguhan hijabnya. Hebat.

Dia tersenyum ke arahku dengan senyum biasa yang entah kenapa selalu tampak mempesona. Dan tak lupa wajah teduhnya yang khas itu, yang kurasa akan selalu terukir di wajahnya bahkan sampai dia tua dan maut menjemputnya.

Kini gadis itu sudah tampak lebih dewasa. Dengan kacamata baca yang entah sejak kapan bertengger manis di hidung mancungnya, membuatnya yang memang sudah pintar tampak jauh lebih pintar. Tubuhnya semakin tinggi dengan badan yang sangat ramping. Kulitnya masih sama seperti dulu. Putih.

Dia... gadis itu... malaikatku... Rayna.


***


Setelah pertemuan mengejutkanku dengan Rayna tadi, aku langsung membawanya ke cafe yang cukup terkenal di kota ini. Cafe ini dulu sering kali kukunjungi bersama Rayna. Tapi setelah dia melanjutkan kuliahnya di luar kota, aku jadi sedikit enggan kembali ke cafe ini. Rasanya hampa.

Jadi saat gadis ini kembali aku merasa sangat senang dan satu-satunya tempat mengobrol yang terpikir di kepalaku adalah tempat ini.

“Jadi? Bagaimana kabarmu?” sapaku memulai pembicaraan.

“Alhamdullillah baik. Kayla bagaimana?”

“Kayla? Alhamdullillah baik.”

“Syukurlah kalau begitu.”

“Hei, sejak kapan kamu memakai kacamata?” tanyaku penasaran.

“Hmmmm, sejak kuliah semester lima kalau tidak salah. Rayna terlalu sering membaca buku ditambah tugas kuliah yang mengharuskan mata Rayna menatap komputer sepanjang hari. Kenapa? Aneh ya?”

“Hahahaha. Tidak kok. Kamu terlihat manis.”

“Terima kasih,” ujarnya sambil tersipu.

 “Bagaimana kabar orangtuamu?”

“Mereka baik. Orang tua Kayla bagaimana? Sehat, kan? Abi dan Ummi titip salam buat Kayla dan orangtua Kayla.”

“Oh, kalau ibu sama ayah baik. Iya deh, nanti Kayla sampaikan. Oh ya, Rayna ada urusan apa di sini?”

Dia menghentikan kegiatan makannya sejenak. Lalu menatap wajahku heran.

“Loh? Rayna belum bilang, ya?”

“Bilang apa?”

“Rayna udah wisuda. Sekarang pengen lamar kerja. Jadi Rayna putusin buat kerja di sini aja.”

“Serius? Kok cepat banget?”

“Hahaha. Begitulah. Rayna ikut program semacam exelerasi gitu, jadi cuma kuliah tiga tahun.”

Yah, aku tahu dia pintar. Tapi tak kusangka dia sepintar ini. Hebat sekali.

 “Subhanallah. Kamu pintar sekali,” pujiku.

Dan seperti biasa, setiap pujianku selalu diresponnya dengan ucapan terimakasih atau senyum tipis.

“Kuliah Kayla bagaimana? Sekarang sudah semester berapa?”

“Kuliah? Cukup menyenangkan. Sekarang Kayla semester enam. Jadi selama disini Rayna akan tinggal dimana? Tinggal di rumah Kayla aja yuk? Mau?”

“Hahaha. Nggak bisa gitu dong. Nanti malah ngerepotin orangtua Kayla. Lagi pula Abi udah nyuruh Rayna tinggal di rumah yang lama.”

“Yaaaaah, padahal nggak ngerepotin kok.”

“Terima kasih. Tidak apa-apa kok. Lagi pula, udah lama Rayna pengen hidup mandiri.”

“Oh gitu. Ya udah deh. Oh ya, kamu tahu perubahan di SMA kita dulu, nggak?”

“Wah, kalau itu Rayna beluh tahu. Habis, tadi saat disana, Kayla langsung peluk Rayna, terus nyeret Rayna ke sini,” ucapnya pura-pura cemberut.

“Hehehe maaf. Habisnya Kayla senang banget bisa lihat Rayna lagi.”

“Jadi? Ada perubahan apa?”

“Peraturannya udah berubah loh. Sekarang seluruh siswi dan guru wajib menggunakan kerudung.”

Tangan gadis itu yang hendak menyuapi makanan ke mulutnya berhenti di udara. Menunda makanan itu lebih lama untuk segera di kunyah dan masuk ke dalam perut.

“Serius kamu?” tanyanya kaget.

“Tentu saja serius.”

“Alhamdullillah. Syukurlah kalau begitu.”

“Dan juga, ibu Risa sekarang juga udah...” 

“RAYNA?!” sapa seorang gadis dari arah samping.

“Loh Dina, Rezi, Mirna?”

“Waahh, senangnya bisa ketemu lagi sama Rayna.”

“Loh, kalian udah berhijab?” ucapku dan Rayna serentak.

“Heehehe. Iya. Ternyata hijab menyenangkan,” jawab Mirna sambil cengengesan.

Subhallah, akhirnya teman-teman seperjuanganku ikut berhijab. Dan hal ini pasti karena dukungan dan dorongan yang pernah diberikan Rayna dulu. Gadis ini benar-benar seperti malaikat.

Aku benar-benar bersyukur pada Allah karena sudah mempertemukanku dengan Rayna. Aku pasti akan selalu ingat jasa gadis itu. Jasa yang gadis itu berikan padaku sehingga aku bisa berubah menjadi gadis yang lebih baik. Aku juga takkan bisa melupakan kelembutan dan keanggunan hijab yang ia ajarkan padaku. Serta, takkan pernah kulupakan... wajah teduh berbingkai kerudung... milik Rayna.



END


Senin, 24 Maret 2014

Wajah Teduh Milik Rayna - Part 5

PART V






Three Day’s Letter.

At class, School


Sejak mendengar cerita Rayna siang itu, aku menjadi semakin bertekad untuk segera berhijab. Aku juga tidak mau kejadian pahit yang dialami Rayna menimpaku.

Baiklah. Sudah kuputuskan aku akan berhijab.

Pertama-tama dimulai dari baju. Kurasa aku lebih menyukai gamis daripada rok. Karena gamis sepertinya lebih simple. Tapi sayang, aku tak terlalu tahu mengenai gamis yang bagus. Bisa tidak ya, Rayna membantuku memilih gamis yang bagus.

“Assalamu’alaikum.”

Aha, akhirnya orang yang sejak tadi ditunggu, muncul juga.

“Wa’alaikumsalam.”

“Ah, bagaimana soal hijab? Sudah diputuskan?”

“Sudah. Kayla mau segera berhijab.”

“Alhamdullillah. Syukurlah kalau begitu.”

“Tapi Kayla butuh bantuan.”

“Insya Allah selalu siap membantu,” sahutnya dengan senyum lebar.

“Kayla kan, nggak punya baju tertutup. Nah, bisa tidak Rayna bantuin Kayla buat milih gamis yang bagus. Soalnya Kayla nggak tau apa-apa soal begituan.”

“Boleh. Kapan kita berangkat?”

“Hmmmm, besok saja gimana? Kebetulan besok minggu.”

“Benar juga. Insya Allah, Rayna tunggu Kayla di halte bus jam 8 pagi, oke?”

“Siip.”


***


Next Day

07.00 AM

Kayla’s Home.


Hari ini aku memutuskan untuk menggunakan kerudung dan gamis yang pernah ku kenakan malam itu. Kerudung berwarna turquoisedan gamis berwarna biru laut dan tak lupa kaus kaki berwarna cream. Saat keluar dari kamar, seluruh keluargaku yang tengah bersantai di ruang keluarga menatapku seolah aku orang asing yang tak dikenal.

“Jangan begitu dong lihatnya. Kayla malu nih,” ujarku dengan wajah merah padam.

“Subhanallah Kayla, kamu cantik sekali,” puji ibuku. “Tapi kenapa tiba-tiba menggunakan gamis itu. Kamu bilang tidak mau menggunakannya?” tanya ibuku heran.

“Kayla mau berhijab, Bu.”

“Serius kamu? Alhamdullillah. Akhirnya Allah buka pintu hati kamu,” sahut ayah riang.

“Jadi, kakak mau kemana?” tanya adik perempuanku yang masih berumur 6 tahun.

“Oh iya lupa bilang, Kayla mau pergi bareng teman buat cari gamis sama kerudung baru. Soalnya pakaian Kayla yang tertutup cuma ini.”

“Waah bagus sekali. Sini ayah tambahin uang kamu.”

“Enggak usah yah, Kayla pengen beli gamis sama kerudung untuk pertama kalinya pake tabungan Kayla sendiri.”

“Oh begitu. Ya sudah. Kalau begitu ayah belikan kamu gamis lain kali ya.”

Oke. Kalau gitu Kayla berangkat dulu ya, Yah, Bu, Assalamu’alaikum,” pamitku sambil mencium kedua tangan mereka.

“Wa’alaikum salam.”

Aku senang sekali. Ternyata hijabku disambut baik oleh keluargaku.


***


07.54 AM

At Halte Bis.


“Assalamu’alaikum,” sapaku pada Rayna yang duduk di kursi halte bus sambil membaca buku. Buku memang benda yang tak bisa lepas dari gadis satu ini. Hari ini dia terlihat cantik dengan gamis berwarna hijau toska yang dipadu dengan kerudung berwarna hijau lembut. Dan seperti biasa, wajahnya terlihat teduh.

“Wa’alaikumsalam. Ya ampun, ini kamu Kayla? Subhanallah. Kamu cantik sekali,” pujinya takjub.

“Terima kasih. Kamu juga manis sekali dengan gamis itu.”

“Hahaha. Terima kasih. Ayo berangkat.”

“Ayo.”


***


06.55 AM

At Class, School.


Aku menarika nafas dalam-dalam. Merasa gugup dengan penampilan baruku. Yap, ini hari pertamaku menggunakan seragam sekolah yang tertutup. Aku sedikit takut melihat reaksi teman-teman nanti.

Tapi Bismillah, kucoba kuatkan mental dan melangkah pasti menuju ruang kelasku.

Dan ternyata seluruh kelas mendadak diam saat mereka melihatku dalam balutan kemeja panjang, rok dalam hingga mata kaki, serta kerudung panjang yang melewati dada.

“Kayla? Woa, kamu cantik sekali menggunakan kerudung,” seru Dina histeris.

“Benar. Kamu cantik sekali. Terlihat sulit dijangkau,” canda Darma.

“Hehehe. Makasih.”

“Assalamu’alaikum,” sapa seorang gadis riang.

“Wa’alaikum salam,” jawab kami serentak.

“Tuuh, kembarannya Kayla udah datang,” celetuk Mirna sambil tertawa kecil.

“Nah, Kayla kan udah hijab, kalian kapan nyusul??” tanya Rayna.

“Tunggu aja, ntar kami nyusul kok,” jawab Rezi sambil menyungginggkan senyum.

“Bagus deh kalau gitu. Kami tunggu ya.”

“Okee.”

Ternyata reaksi mereka tak seperti bayanganku. Ternyata mereka menerima dengan baik perubahanku. Aku jadi tak sabar melihat reaksi nenek. Bagaimana pendapatnya mengenai hijabku ya??


***


Sore sepulang sekolah aku langsung pamit kepada ibu untuk pergi ke rumah nenek, dan ternyata yang kudapatkan di sana adalah sesuatu yang mengejutkan. Nenek ternyata sakit-sakitan. Dia bahkan harus opnamedi rumah sakit beberapa hari yang lalu.

Tapi aku merasa bersyukur bisa datang hari ini, nenek terlihat senang saat melihat wajahku dalam balutan kerudung berwarna turquoise pemberiannya dulu. Aku takjub melihat nenek, karena bahkan di saat umurnya sudah tua dan dalam keadaan sakit seperti ini, nenek tak pernah melepas kerudungnya. Membuatku semakin termotivasi untuk terus berhijab.

Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya penyakit nenek mulai membaik. Dokter bilang, hal ini dipicu oleh psikis nenek yang sangat baik dan perasaan nenek yang begitu bahagia. Dan hal itu mempercepat proses penyembuhan. Tapi aku tahu, kesembuhan pasti kehendak Allah SWT sebagai hadiah karena jiwa nenek yang selalu tabah.

Tapi aku penasaran tentang satu hal. Apa yang membuat nenek begitu bahagia? Dan saat aku menanyakan mengenai hal tersebut, aku benar-benar berterimakasih pada Rayna.

“Karena kamu sudah menggunakan kerudung dan berhijab. Tak ada yang lebih membahagiakan nenek selain melihat wajahmu dibingkai oleh kerudung.” Begitu jawaban nenek.

Tak kusangka reaksi nenek terhadap hijabku sampai sejauh ini. Dan aku menyadari, bahwa aku berhutang banyak pada Rayna. Karena gadis itulah aku bisa menjadi seperti saat ini. Menjadi gadis yang lebih baik.


To Be Continued


***


Minggu, 23 Maret 2014

Wajah Teduh Milik Rayna - Part 4







PART IV


09.00 PM

Kayla’s Home, at bed room.


Sebagai wanita muslimah aku tahu kewajibanku untuk berhijab dan selalu menutup rapat auratku. Tapi sayangnya aku masih belum punya kemauan untuk berhijab. Padahal hijab itu yang paling penting dari seorang wanita. Aku tahu hal itu, tapi entah kenapa rasanya sulit sekali untuk melaksanakannya. Ditambah lagi seragam sekolah yang memang tidak menuntut para siswa untuk menggunakan kerudung. Aku jadi semakin jauh dengan hijab.

Tapi saat melihat Rayna, aku merasakan sesuatu yang aneh. Aku merasa seperti disihir oleh hijabnya. Seolah hijabnya memerintahkanku untuk turut menutup rapat auratku.

Dan sejak melihat wajah teduhnya yang dibingkai oleh kerudung. Hatiku seakan tergerak untuk menutup rapat auratku dan berfikir ulang mengenai pakaian yang pantas digunakan oleh seorang wanita.

Tanpa sadar, aku beranjak ke lemari pakaianku dan mengambil sebuah kerudung pemberian nenekku saat ulang tahunku yang kesepuluh. Beliau ingin sekali melihatku menggunakan hijab sepertinya. Tapi saat itu aku menolak untuk mengikuti keinginannya.

Kerudung itu berwarna turquoisedengan hiasan bunga dan kupu-kupu di pinggirnya. Modelnya cukup panjang dan melewati hingga dada.

Aku menggunakan kerudung itu dan memandang diriku sendiri di depan cermin. Aku terlonjak kaget saat menyadari bahwa aku tak mengenali pemilik wajah yang terpantul di cermin saat ini.

Apa itu aku? Benar itu aku. Aku cukup yakin mengatakan bahwa gadis yang menggunakan kerudung berwarna turquoiseitu adalah aku. Hanya saja, aku tak menyangka bahwa wajahku akan berubah sedrastis ini. Tampak lebih cerah dan... teduh.

Kemudian aku mencoba menggunakan gamis polos berwarna biru laut pemberian ibuku. Baju ini masih sangat bagus karena memang tak pernah kukenakan sekali pun.

Dan saat gamis ini melekat di tubuhku, mendadak aku merasakan nyaman yang tak bisa kugambarkan seperti apa rasanya. Hanya saja, aku cukup percaya diri untuk mengatakan bahwa rasanya aku seperti dilindungi. Dilindungi oleh pakaian memang terdengar konyol, tapi seperti itulah kenyataannya. Aku merasa seperti dilindungi oleh ibuku, nenekku, dan juga... Allah SWT.


***


One week Letter

06.56 AM

At Class, School.


Sejak menggunakan gamis malam itu. Aku sering melamun. Aku ingin segera menggunakan kerudung dan berhijab. Tapi aku takut dengan reaksi orang-orang di sekitarku. Apa yang akan mereka pikirkan tentang aku yang awalnya berpakain terbuka, mendadak berpakain tertutup. Mereka pasti akan berpikiran buruk dan akan menggosipkanku. Belum lagi, aku masih belum tahu, apa sekolah mengizinkan seragam yang tertutup seperti seragam Rayna.

“Kayla,” tegur seseorang mengakhiri lamunanku.

“Eh, oh, ah, iya Bu?” tanyaku kaget saat menyadari ternyata Ibu Risa yang menegurku.

“Kenapa melamun? Ada masalah, ya?”

“Hehehe... Tidak kok. Ng, ada apa ya, Bu?” tanyaku penasaran. Kenapa ibu Risa datang ke kelas dan mendatangiku?

“Kemana Rayna?”

“Rayna belum datang. Memangnya kenapa, Bu??”

“Oh tidak apa-apa. Ibu hanya ingin menyampaikan bahwa Rayna diizinkan untuk menggunakan seragam yang tertutup. Tetapi corak seragamnya harus sama dengan corak yang sudah ditentukan oleh sekolah.”

“Oh begitu. Ya sudah, biar saya yang sampaikan.”

“Baiklah, terima kasih ya, Kayla.”

“Iya, sama-sama.”


***


“Assalamu’alaikum,” sapa seseorang kembali mengagetkanku.

“Eh, Wa’alaikum salam.”

“Kayla kenapa melamun?”

“Tidak apa-apa kok. Oh iya, tadi ibu Risa datag cari kamu. Dia bilang kamu diberi izin untuk menggunakan seragam yang tertutup, tapi dengan syarat coraknya harus sama dengan corak sekolah ini.”

“Benarkah?” tanyanya berbinar-binar.

Aku mengganggukkan kepalaku sekilas. Sepertinya dia benar-benar senang sekali bisa menggunakan kerudung. Mungkin aku bisa menceritakan kendalaku padanya.

“Alhamdullillah, syukurlah,” ucapnya lega.

“Hmmm, Ray, boleh tanya sesuatu, tidak??”

“Tentu.”

“Begini. Aku sudah memutuskan ingin menggunakan kerudung, tapi...”

“Benarkah? Subhanallah. Aku turut senang, Kay,” serunya histeris memotong ucapanku.

“Ng tapi ada sedikit kendala, aku sedikit takut dengan reaksi orang-orang disekitarku.”

Dan reaksi yang kudapatkan sangat mengejutkan. Dia tertawa. Gadis ini tertawa. Memangnya apa yang lucu?

“Kenapa tertawa?”

“Ah, maaf. Tapi kendala yang kamu alami persis seperti aku dulu.”

“Jadi, kamu juga pernah mengalami kendala saat berhijab?”

“Iya.”

“Lalu gimana cara kamu mengatasinya?”

“Entalah. Aku juga tidak ingat. Yang pasti saat itu, keberanianku mulai muncul saat sesuatu yang menakutkan datang padaku.”

“Memangnya apa yang terjadi?”

“Ceritanya panjang. Tapi intinya, saat itu aku hampir dilecehkan oleh kakak kelasku, tapi untung saja aku sempat diselamatkan sebelum pria bejat itu melakukan sesuatu yang buruk pada tubuhku,” ungkapnya murung dengan suara bergetar.

“Saat itu, aku baru saja kelas satu SMP dan menginjak masa pubertas. Jadi yang aku lakukan adalah bergaya sana-sini seperti teman-temanku yang lainnya. Dan ternyata yang kudapatkan adalah hal mengerikan seperti itu,” ceritanya dengan mata berkaca-kaca mengenang kembali masa menyakitkan itu.

“Lalu? Siapa yang menyelamatkanmu?”

“Entahlah. Kurasa dia kakak kelasku. Aku tak sempat mencari tahu. Karena setelah kejadian itu, aku minta pindah sekolah ke kampung halaman ibuku dan tinggal disana bersama nenekku. Aku bahkan tidak tau siapa nama wanita yang menyelamatkanku itu. Yang ku ingat hanyalah wajahnya yang teduh. Dia menggunakan kerudung. Saat menenangkanku di ruang UKS dia sempat menasehatiku agar bila besar nanti menutup auratku. Karena dia tidak bisa berlama-lama menemaniku, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih dan tidak sempat mencaritahu tentangnya, karena keesokan harinya, aku segera pindah sekolah,” ceritanya panjang lebar dengan mata menerawang, kurasa dia mencoba mengingat lagi wajah sang kakak kelas itu.

“Dan saat bersekolah di kampung halaman ibuku, aku memutuskan untuk menggunakan kerudung dan berhijab seperti yang disarankan oleh kakak itu. Aku juga tidak mau kejadian seperti itu terulang kembali. Dan ternyata, menggunakan kerudung dan berhijab sangat menyenangkan. Aku merasa seperti terlindungi oleh pakaian tertutup seperti itu.”

Rayna mengakhiri ceritanya dengan senyum tipis. Wajahnya yang terlihat sedih beberapa saat yang lalu entah menguap kemana. Dan entah kenapa aku merasa pemikiran Rayna sedikit serupa dengan pemikiranku. Kami sama-sama berfikir bahwa pakaian tertutup itu terasa seperti melindungi.


To Be Continued


***


Sabtu, 22 Maret 2014

Wajah Teduh Milik Rayna - Part 3




PART III


Friday

07.09 AM

At Class, School.


“Selamat pagi Anak-anak,” sapa ibu Risa, wali kelas kami.

“Pagi buuuuk,” jawab kami serempak.

“Pagi ini kalian mendapatkan teman baru. Ayo nak, mari masuk,” ujar ibu Rina memberitahu sambil mengajak masuk seorang murid perempuan.

“Ayo perkenalkan dirimu.”

“Assalamu’alaikum teman-teman,” sapanya sambil tersenyum tipis.

“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatu,” jawab seluruh kelas serempak.

“Perkenalkan, nama saya Rayna Islami. Kalian semua bisa panggil saya Rayna. Saya harap kita semua dapat berteman dengan baik. Mohon bimbingannya,” ujarnya memperkenalkan diri sambil terus memasang senyum yang sejak tadi tak pernah luntur.

Aku hanya bisa terpaku memandang gadis di depanku. Bukan karena dia begitu cantik sehingga membuat semua lelaki di kelas ini menjadi terpesona. Bukan juga karena dia begitu manis sehingga menjadi pusat perhatian seluruh gadis di kelas ini.

Hanya saja, ada sesuatu yang membuatku terpaku.

Wajah gadis ini begitu berbeda dari kebanyakan gadis lain yang pernah kutemui. Cara ia tersenyum, cara ia menyapa kami semua dengan ucapan salam halus yang meluncur dari bibir tipisnya, cara ia menggunakan kerudungnya yang dalam yang ia jujulurkan hingga menutupi dada. Semuanya berbeda.

Wajahnya teduh.

Mungkin wajah paling teduh yang pernah kulihat.

Dan yang semakin membuat mulutku terbuka lebar adalah ternyata dia adalah gadis yang kulihat kemarin. Karena tiba-tiba saja dia tersenyum padaku sambil melambaikan tangannya.

Ternyata dugaanku benar. Gadis ini adalah siswa baru di sekolah ini.

Dan entah kenapa saat melihat wajahnya, mendadak aku diliputi perasaan aneh. Sebuah perasaan kagum yang menuntunku ke sebuah jalan lurus milik Sang Ilahi.


***


“Assalamu’alaikum. Nama kamu siapa?” sapa Rayna dari arah samping.

Yap. Setelah perkenalan singkat tadi, ibu Risa menyuruh gadis berkerudung berwajah teduh ini untuk duduk sampingku. Waaahh, senangnya dapat teman baru.

“Wa’alaikumsalam. Namaku Kayla. Kayla Andini.”

 “Masya Allah. Namanya bagus sekali.”

“Terimakasih.”

Gadis itu hanya menjawabanya dengan senyum simpul dan mengarahkan pandangannya ke depan kelas. Dan sebentar lagi pelajaran guru paling killer di sekolah ini akan dimulai.


***


Semua murid mendadak diam saat Bu Kartini atau yang biasa di panggil Ibu Tini menginjakkan kakinya ke dalam kelas. Seperti biasa, beliau selalu menenteng buku Kimia di tangan kanannya dan menggenggam sebatang rotan di tangan kirinya.

Sudah jadi rahasia umum bahwa ibu Tini ini terkenal ganas. Saat beliau mengajar, tak ada seorang pun yang berani berbicara ataupun menyela. Saat ada murid yang mengantuk atau sudah sampai pada tahap tertidur, bu Tini akan menghentakkan rotan yang selalu di bawanya itu ke papan tulis dengan tenaga penuh. Dan murid yang tertidur itu, dijamin akan langsung meloncat dari dunia mimpinya yang indah menuju dunia nyata yang mengerikan karena disambut oleh teriakan spektakuler dari seorang guru yang terkenal ganas di sekolah ini.

Karena itulah, saat bel pergantian belajar berbunyi, para murid serentak mengusap dadanya lega, dan memijat pundak mereka yang tegang karena harus selalu melihat ke depan saat pelajaran ibu Tini.

“Kayla, Rayna boleh bertanya sesuatu tidak?”

“Tentu. Ingin bertanya apa?”

“Apa seragam sekolah disini memang ... ng ...”

“Tidak menggunakan kerudung maksudnya.”

Dia mengangguk.

“Ya. Apa peraturannya memang seperti itu. Apa memang harus menggunakan kemeja lengan pendek dan rok sebatas lutut?” tanyanya cemas.

“Setahu Kayla sih memang begitu,” jawabku sekenanya. Karena aku memang tak pernah melihat siswa sekolah ini menggunakan seragam yang tertutup. Lagi pula seragam dinas guru-guru pun juga tidak menggunakan kerudung

“Kalau begitu, bagaimana dengan Rayna. Rayna tidak mau menggunakan seragam seperti itu,” ucapnya sedih.

“Coba saja tanya sama ibu Risa. Siapa tahu ibu Risa bisa kasih solusi,” ujarku memberi saran.

“Ng, Afwan, eh maksudnya maaf,” ralatnya saat melihat wajah bingungku mendengar kata ‘afwan.’

“Bisa tidak antarkan Rayna kesana. Soalnya Rayna tidak tahu ruang majelis guru.”

“Tentu saja. Mari Kayla antar.”

“Terima kasih. Maaf merepotkan.”

“Sama-sama. Hahaha. Tidak apa-apa kok.”


***


Saat menuju ruang majelis guru, aku dan Rayna mendadak menjadi pusat perhatian. Sudah pasti bukan aku yang diperhatikan, tapi Rayna. Karena murid-murid di sekolah ini pasti sedikit asing dengan penampilan Rayna yang berpakain tertutup. Tapi hebatnya, Rayna sama sekali tidak merasa terganggu oleh pandangan para siswa itu. Dia tetap melangkah dengan anggun meskipun kakinya ‘dililit’ oleh sebuah rok panjang sampai ke mata kaki.

Lamunanku terhenti saat kami tiba di ruang majelis. Aku langsung menuntun Rayna ke meja ibu Risa dan menyampaikan keluhan mengenai seragam sekolah. Dan ibu Risa dengan senang hati membantu Rayna.

“Baiklah Rayna. Ibu mengerti. Nanti akan ibu tanyakan pada kepala sekolah dan guru kesiswaan, semoga saja sekolah mengizinkan kamu untuk terus berpakain tertutup seperti ini.”

“Syukurlah. Terima kasih banyak bu.”

“Iya, sama-sama.”


To Be Continued


***

Wajah Teduh Milik Rayna - Part 2




PART II


At class, school

06.59 AM

Jeng jeng jeng~

Aku selamat. Meskipun sampai di sekolah dengan penampilan berantakan dan napas ngos-ngosan, aku berhasil datang tepat waktu dan berhasil lolos dari lambaian surat “Panggilan Orang Tua” dari guru kesiswaan.

‘Sepertinya ini hari keberuntunganku.’

Setidaknya hal itulah yang ingin ku ucapkan, sampai aku tiba di kelas dan sebuah ucapan tersangkut di kepalaku.

“Kayla, hari ini kan tugas kamu buat piket, kenapa datang terlambat?” tanya Dina.
Gawat, aku melupakan fakta bahwa hari ini tugasku piket kelas.

“Iya, kenapa datangnya terlambat? Aku dan Jenni jadi piket berdua,” sahut Lila manyun.

“Sorry La, tadi aku kesiangan, dan untung saja tidak terlambat, jika hari ini aku terlambat, orangtuaku pasti dipanggil lagi,” ujarku berusaha meminta maaf sambil berbicara panjang lebar tanpa diminta.

“Meski begitu kamu harus tetap bayar denda lho, Kay,” timbrung Rezi, sang bendahara kelas.

Memang sudah jadi peraturan kelas untuk membayar denda jika tidak mengerjakan piket. Dan uang kas kelas semakin bertambah akibat hal ini. Pasalnya, banyak siswa di kelas kami lebih memilih membayar denda dari pada mengerjakan piket. Biasanya hal ini umum di kalangan laki-laki.

Mereka berdalih dengan alasan tidak pandai mengerjakan tugas rumah tangga. Padahal kami perempuan di kelas itu tahu dengan jelas bahwa mereka semua merasa gengsi untuk menyapu atau sekedar membersihkan jendela.

“Iya aku tahu, nanti ya, aku kasih uangnya ke kamu saat jam istirahat.”

“Oke.”


***


Two Next Day


Thursday

10.15 AM

At Class, School.


Hari ini kelasku benar-benar ribut dan berisik. Padahal ibu Nur, guru Matematika, dengan semangat menjelaskan rumus-rumus yang entah kenapa tak pernah menyangkut di kepalaku meskipun aku selalu mendengarkan dengan seksama. Sepertinya pelajaran Matematika punya dendam pribadi denganku.

Aku mengalihkan wajahku bosan dan memandang ke luar kelas. Kira-kira lima meter dari depan kelasku berdiri seorang gadis menggunakan baju gamis berwarna coklat. Kerudung dan gamis yang dikenakan gadis itu bergoyang anggun karena tertiup angin. Tapi sayang, aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena silau oleh cahaya matahari.

Tiba-tiba dia tersentak saat sadar aku memperhatikannya sejak tadi. Kemudian aku melihat tangannya melambai ke arahku. Aku membalas sapaannya dengan senyum tipis. Kemudian dia berbalik dan berlalu begitu saja.

Siapa gadis itu? Misterius sekali.  

Woah, apa yang kau lakukan Kayla. Jika memperhatikan guru menerangkan di depan kelas saja kau tetap tak mengerti pelajaran ini, apalagi jika tidak kau perhatikan? Kau akan menjadi semakin tak mengerti.

“Fokus Kayla, fokus,” ucapku dalam hati.

Tapi entah kenapa saat berusaha fokus, aku malah semakin terbayang dengan gadis itu. Aneh sekali, gadis itu benar-benar membuatku penasaran.

Apa yang dilakukan gadis itu disini? Apa dia siswi baru? Tapi kenapa tidak ada kabar tentang hal itu. Biasanya kelasku selalu up date tentang informasi-informasi terbaru yang terjadi di sekolah.

Aku menggelengkan kepalaku sekilas. Mengingatkan diriku sekali lagi agar berhenti memikirkan gadis itu dan kembali berkonsentrasi.

Beberapa menit kemudian ...

Hooaaahhmm. Kapan ibu Nur selesai menerangkan rumus-rumus itu? Tiba-tiba aku menjadi sangat mengantuk dan tidak bersemangat lagi untuk mendengarkan penjelasannya.

Aku tak tahu, entah ini hanya perasaanku saja atau memang kenyataannya seperti itu. Tapi aku selalu merasa saat pelajaran Matematika jam berputar sangat lambat. Seperti saat ini misalnya, aku merasa sudah mendengarkan penjelasan ibu Nur selama satu jam penuh, padahal beliau baru memulai pelajarannya dua puluh menit yang lalu.

Ternyata dugaanku benar. Matematika punya dendam pribadi padaku. Kalau memang begitu, berarti aku tak akan pernah bisa paham pelajaran matematika, kan? Huaaaa, membayangkannya saja sudah membuatku merinding. Tidak bisa matematika akan membawa kesulitan di masa depan. Dan aku sama sekali tidak berniat untuk mencoba kesulitan itu.

“Kay, kamu ngerti apa yang dijelasin ibu Nur, nggak?” bisik Dina yang duduk dibelakangku.

“Tidak sama sekali,” jawabku muram.

“Sama Kay. Aku juga nggak ngerti nih. Entah pelajarannya yang terlalu sulit atau aku yang terlalu bodoh.”

“Pasti kita yang terlalu bodoh. Lihat saja si Ririn, dia kencng banget jawab pertanyaannya ibu Nur.”

“Kalau Ririn mah, nggak usah ditanya. Semua orang juga tahu kalau dia jago matematika dan jadi anak emas ibu Nur.

Aku hanya menanggapi ucapan Dina dengan mengganggukkan kepalaku sekilas. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

“Eh Din, tadi kamu lihat cewek nggak di luar?”

“Hah? Nggak tuh. Emangnya kenapa?”

“Enggak. Aku cuma penasaran aja.”

Aku semakin penasaran tentang gadis itu. Tanpa tahu bahwa aku akan segera mengetahui identitas gadis itu esok hari.


To Be Continued


***