PART VI (END)
Some Years Later.
Saat ini aku sudah lulus SMA dan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Sudah tiga tahun sejak terakhir kali aku masih mengemban ilmu di sekolah ini. Kini aku rajin sekali mengunjungi SMA ku dulu. Sebuah tempat dimana akhirnya aku berubah menjadi sosok yang lebih baik. Dan ternyata banyak hal yang berubah di SMA ini, mungkin bagiku ini adalah sebuah kejutan.
Pertama, Ibu Risa, wali kelasku dulu, ternyata beliau sudah menikah dan sudah berhijab, beliau juga sudah memiliki anak. Dan kejutan paling membahagiakan adalah, peraturan sekolah sudah berubah, kini seluruh siswi dan guru diwajibkan menggunakan kerudung. Aku senang sekali.
Dan ketika mataku menangkap dua orang siswi berkerudung berjalan beriringan di lapangan sekolah, mendadak pikiranku melayang pada gadis itu. Gadis berhati putih dengan segala kebaikan dan kelembutan yang melekat dalam dirinya serta wajah teduh yang selalu terpatri pada wajah berbingkai kerudung miliknya. Banar. Gadis itu. Rayna.
Aku sering bertukar kabar dengan Rayna. Dia bilang, ayahnya pindah tugas ke daerah Jawa. Jadi dia juga harus melanjutkan kuliah di sana. Dan ternyata dia mendapat beasiswa di UI. Alhamdullillah, aku turut senang mendengarnya.
Saat kelulusan aku menyampaikan ucapan terima kasihku padanya. Kuceritakan semua hal yang membuatku termotivasi untuk berhijab. Dan jawaban yang di berikannya membuatku meneteskan air mata.
Bukan karena kalimat itu begitu mengharukan, bukan juga karena kalimat itu mengandung makna yang dalam. Tapi yang membuatku meneteskan air mata ialah, karena kalimat itu diucapkan dengan begitu tulus, membuatku merasa berat untuk berpisah dengan wanita sebaik Rayna. Dia mengucapkan kalimat itu dengan begitu bijak disertai senyum manis yang memang tak pernah luntur dari wajahnya yang teduh.
“Ini bukan karena Rayna. Tapi karena diri Kayla sendiri yang memang sesungguhnya ingin berhijab. Rayna tahu Kayla gadis yang baik, karena itu Allah segera buka pintu hati Kayla agar segera berhijab. Mungkin Rayna hanya sebagai perantara saja.” Begitulah kalimat yang ia katakan padaku.
Jika diingat-ingat, kini aku sudah berubah 180 derajat. Jika diibaratkan dengan roda, aku yang dulu berada dibawah kini sudah berada diatas. Banyak sekali hal yang berubah seiring melekatnya hijab dalam diriku.
Aku yang dulu selalu tidur lagi selepas shalat subuh, kini bisa melakukan hal yang berguna seperti membaca Al-Qur’an atau buku. Kemudian, aku yang dulu shalat wajib selalu di akhir waktu, kini sudah terbiasa shalat di awal waktu.
Hobiku tetap tak berubah, aku masih suka membaca novel seperti dulu, namun tak seperti dulu yang setiap saat selalu membaca novel, kini aku sudah bisa mengatur waktuku dengan baik. Kapan saatnya membaca novel, dan kapan saatnya mengerjakan kegiatan lain. Dan semua perubahan itu dibantu oleh Rayna.
Suare bel sekolah mengagetkanku dan membuyarkan lamunanku. Aku melihat arloji di tanganku dan sukses membuatku terkejut. Sudah berapa lama aku melamun? Gawat. Aku harus segera pulang.
Saat aku berjalan keluar pelataran sekolah, di depan taman bunga, disanalah ia berdiri. Dengan buju gamis berwarna biru muda dan kerudung berwarna pink lembut yang bergoyang anggun di tiup angin. Persis seperti pertama kali kami berjumpa.
Ternyata kota besar tempat dia tinggal tak mampu mengubah keteguhan imannya. Aku tahu, kota besar sudah biasa dengan pergaulan bebas dan fashion yang mengumbar aurat, tapi gadis ini masih tetap bertahan dengan keteguhan hijabnya. Hebat.
Dia tersenyum ke arahku dengan senyum biasa yang entah kenapa selalu tampak mempesona. Dan tak lupa wajah teduhnya yang khas itu, yang kurasa akan selalu terukir di wajahnya bahkan sampai dia tua dan maut menjemputnya.
Kini gadis itu sudah tampak lebih dewasa. Dengan kacamata baca yang entah sejak kapan bertengger manis di hidung mancungnya, membuatnya yang memang sudah pintar tampak jauh lebih pintar. Tubuhnya semakin tinggi dengan badan yang sangat ramping. Kulitnya masih sama seperti dulu. Putih.
Dia... gadis itu... malaikatku... Rayna.
***
Setelah pertemuan mengejutkanku dengan Rayna tadi, aku langsung membawanya ke cafe yang cukup terkenal di kota ini. Cafe ini dulu sering kali kukunjungi bersama Rayna. Tapi setelah dia melanjutkan kuliahnya di luar kota, aku jadi sedikit enggan kembali ke cafe ini. Rasanya hampa.
Jadi saat gadis ini kembali aku merasa sangat senang dan satu-satunya tempat mengobrol yang terpikir di kepalaku adalah tempat ini.
“Jadi? Bagaimana kabarmu?” sapaku memulai pembicaraan.
“Alhamdullillah baik. Kayla bagaimana?”
“Kayla? Alhamdullillah baik.”
“Syukurlah kalau begitu.”
“Hei, sejak kapan kamu memakai kacamata?” tanyaku penasaran.
“Hmmmm, sejak kuliah semester lima kalau tidak salah. Rayna terlalu sering membaca buku ditambah tugas kuliah yang mengharuskan mata Rayna menatap komputer sepanjang hari. Kenapa? Aneh ya?”
“Hahahaha. Tidak kok. Kamu terlihat manis.”
“Terima kasih,” ujarnya sambil tersipu.
“Bagaimana kabar orangtuamu?”
“Mereka baik. Orang tua Kayla bagaimana? Sehat, kan? Abi dan Ummi titip salam buat Kayla dan orangtua Kayla.”
“Oh, kalau ibu sama ayah baik. Iya deh, nanti Kayla sampaikan. Oh ya, Rayna ada urusan apa di sini?”
Dia menghentikan kegiatan makannya sejenak. Lalu menatap wajahku heran.
“Loh? Rayna belum bilang, ya?”
“Bilang apa?”
“Rayna udah wisuda. Sekarang pengen lamar kerja. Jadi Rayna putusin buat kerja di sini aja.”
“Serius? Kok cepat banget?”
“Hahaha. Begitulah. Rayna ikut program semacam exelerasi gitu, jadi cuma kuliah tiga tahun.”
Yah, aku tahu dia pintar. Tapi tak kusangka dia sepintar ini. Hebat sekali.
“Subhanallah. Kamu pintar sekali,” pujiku.
Dan seperti biasa, setiap pujianku selalu diresponnya dengan ucapan terimakasih atau senyum tipis.
“Kuliah Kayla bagaimana? Sekarang sudah semester berapa?”
“Kuliah? Cukup menyenangkan. Sekarang Kayla semester enam. Jadi selama disini Rayna akan tinggal dimana? Tinggal di rumah Kayla aja yuk? Mau?”
“Hahaha. Nggak bisa gitu dong. Nanti malah ngerepotin orangtua Kayla. Lagi pula Abi udah nyuruh Rayna tinggal di rumah yang lama.”
“Yaaaaah, padahal nggak ngerepotin kok.”
“Terima kasih. Tidak apa-apa kok. Lagi pula, udah lama Rayna pengen hidup mandiri.”
“Oh gitu. Ya udah deh. Oh ya, kamu tahu perubahan di SMA kita dulu, nggak?”
“Wah, kalau itu Rayna beluh tahu. Habis, tadi saat disana, Kayla langsung peluk Rayna, terus nyeret Rayna ke sini,” ucapnya pura-pura cemberut.
“Hehehe maaf. Habisnya Kayla senang banget bisa lihat Rayna lagi.”
“Jadi? Ada perubahan apa?”
“Peraturannya udah berubah loh. Sekarang seluruh siswi dan guru wajib menggunakan kerudung.”
Tangan gadis itu yang hendak menyuapi makanan ke mulutnya berhenti di udara. Menunda makanan itu lebih lama untuk segera di kunyah dan masuk ke dalam perut.
“Serius kamu?” tanyanya kaget.
“Tentu saja serius.”
“Alhamdullillah. Syukurlah kalau begitu.”
“Dan juga, ibu Risa sekarang juga udah...”
“RAYNA?!” sapa seorang gadis dari arah samping.
“Loh Dina, Rezi, Mirna?”
“Waahh, senangnya bisa ketemu lagi sama Rayna.”
“Loh, kalian udah berhijab?” ucapku dan Rayna serentak.
“Heehehe. Iya. Ternyata hijab menyenangkan,” jawab Mirna sambil cengengesan.
Subhallah, akhirnya teman-teman seperjuanganku ikut berhijab. Dan hal ini pasti karena dukungan dan dorongan yang pernah diberikan Rayna dulu. Gadis ini benar-benar seperti malaikat.
Aku benar-benar bersyukur pada Allah karena sudah mempertemukanku dengan Rayna. Aku pasti akan selalu ingat jasa gadis itu. Jasa yang gadis itu berikan padaku sehingga aku bisa berubah menjadi gadis yang lebih baik. Aku juga takkan bisa melupakan kelembutan dan keanggunan hijab yang ia ajarkan padaku. Serta, takkan pernah kulupakan... wajah teduh berbingkai kerudung... milik Rayna.
END