At class, school
06.59 AM
Jeng jeng jeng~
Aku selamat. Meskipun sampai di sekolah dengan penampilan berantakan dan napas ngos-ngosan, aku berhasil datang tepat waktu dan berhasil lolos dari lambaian surat “Panggilan Orang Tua” dari guru kesiswaan.
‘Sepertinya ini hari keberuntunganku.’
Setidaknya hal itulah yang ingin ku ucapkan, sampai aku tiba di kelas dan sebuah ucapan tersangkut di kepalaku.
“Kayla, hari ini kan tugas kamu buat piket, kenapa datang terlambat?” tanya Dina.
Gawat, aku melupakan fakta bahwa hari ini tugasku piket kelas.
“Iya, kenapa datangnya terlambat? Aku dan Jenni jadi piket berdua,” sahut Lila manyun.
“Sorry La, tadi aku kesiangan, dan untung saja tidak terlambat, jika hari ini aku terlambat, orangtuaku pasti dipanggil lagi,” ujarku berusaha meminta maaf sambil berbicara panjang lebar tanpa diminta.
“Meski begitu kamu harus tetap bayar denda lho, Kay,” timbrung Rezi, sang bendahara kelas.
Memang sudah jadi peraturan kelas untuk membayar denda jika tidak mengerjakan piket. Dan uang kas kelas semakin bertambah akibat hal ini. Pasalnya, banyak siswa di kelas kami lebih memilih membayar denda dari pada mengerjakan piket. Biasanya hal ini umum di kalangan laki-laki.
Mereka berdalih dengan alasan tidak pandai mengerjakan tugas rumah tangga. Padahal kami perempuan di kelas itu tahu dengan jelas bahwa mereka semua merasa gengsi untuk menyapu atau sekedar membersihkan jendela.
“Iya aku tahu, nanti ya, aku kasih uangnya ke kamu saat jam istirahat.”
“Oke.”
***
Two Next Day
Thursday
10.15 AM
At Class, School.
Hari ini kelasku benar-benar ribut dan berisik. Padahal ibu Nur, guru Matematika, dengan semangat menjelaskan rumus-rumus yang entah kenapa tak pernah menyangkut di kepalaku meskipun aku selalu mendengarkan dengan seksama. Sepertinya pelajaran Matematika punya dendam pribadi denganku.
Aku mengalihkan wajahku bosan dan memandang ke luar kelas. Kira-kira lima meter dari depan kelasku berdiri seorang gadis menggunakan baju gamis berwarna coklat. Kerudung dan gamis yang dikenakan gadis itu bergoyang anggun karena tertiup angin. Tapi sayang, aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena silau oleh cahaya matahari.
Tiba-tiba dia tersentak saat sadar aku memperhatikannya sejak tadi. Kemudian aku melihat tangannya melambai ke arahku. Aku membalas sapaannya dengan senyum tipis. Kemudian dia berbalik dan berlalu begitu saja.
Siapa gadis itu? Misterius sekali.
Woah, apa yang kau lakukan Kayla. Jika memperhatikan guru menerangkan di depan kelas saja kau tetap tak mengerti pelajaran ini, apalagi jika tidak kau perhatikan? Kau akan menjadi semakin tak mengerti.
“Fokus Kayla, fokus,” ucapku dalam hati.
Tapi entah kenapa saat berusaha fokus, aku malah semakin terbayang dengan gadis itu. Aneh sekali, gadis itu benar-benar membuatku penasaran.
Apa yang dilakukan gadis itu disini? Apa dia siswi baru? Tapi kenapa tidak ada kabar tentang hal itu. Biasanya kelasku selalu up date tentang informasi-informasi terbaru yang terjadi di sekolah.
Aku menggelengkan kepalaku sekilas. Mengingatkan diriku sekali lagi agar berhenti memikirkan gadis itu dan kembali berkonsentrasi.
Beberapa menit kemudian ...
Hooaaahhmm. Kapan ibu Nur selesai menerangkan rumus-rumus itu? Tiba-tiba aku menjadi sangat mengantuk dan tidak bersemangat lagi untuk mendengarkan penjelasannya.
Aku tak tahu, entah ini hanya perasaanku saja atau memang kenyataannya seperti itu. Tapi aku selalu merasa saat pelajaran Matematika jam berputar sangat lambat. Seperti saat ini misalnya, aku merasa sudah mendengarkan penjelasan ibu Nur selama satu jam penuh, padahal beliau baru memulai pelajarannya dua puluh menit yang lalu.
Ternyata dugaanku benar. Matematika punya dendam pribadi padaku. Kalau memang begitu, berarti aku tak akan pernah bisa paham pelajaran matematika, kan? Huaaaa, membayangkannya saja sudah membuatku merinding. Tidak bisa matematika akan membawa kesulitan di masa depan. Dan aku sama sekali tidak berniat untuk mencoba kesulitan itu.
“Kay, kamu ngerti apa yang dijelasin ibu Nur, nggak?” bisik Dina yang duduk dibelakangku.
“Tidak sama sekali,” jawabku muram.
“Sama Kay. Aku juga nggak ngerti nih. Entah pelajarannya yang terlalu sulit atau aku yang terlalu bodoh.”
“Pasti kita yang terlalu bodoh. Lihat saja si Ririn, dia kencng banget jawab pertanyaannya ibu Nur.”
“Kalau Ririn mah, nggak usah ditanya. Semua orang juga tahu kalau dia jago matematika dan jadi anak emas ibu Nur.
Aku hanya menanggapi ucapan Dina dengan mengganggukkan kepalaku sekilas. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Eh Din, tadi kamu lihat cewek nggak di luar?”
“Hah? Nggak tuh. Emangnya kenapa?”
“Enggak. Aku cuma penasaran aja.”
Aku semakin penasaran tentang gadis itu. Tanpa tahu bahwa aku akan segera mengetahui identitas gadis itu esok hari.
To Be Continued
***
0 komentar:
Posting Komentar