PART I
Prolog
Aku terpaku memandang gadis di depanku. Bukan karena dia begitu cantik sehingga membuat semua lelaki di kelas ini menjadi terpesona. Bukan juga karena dia begitu manis sehingga menjadi pusat perhatian seluruh gadis di kelas ini.
Hanya saja, ada sesuatu yang membuatku terpaku.
Wajah gadis ini begitu berbeda dari kebanyakan gadis lain yang pernah kutemui. Cara ia tersenyum, cara ia menyapa kami semua dengan ucapan salam halus yang meluncur dari bibir tipisnya, cara ia menggunakan kerudungnya yang ia jujulurkan hingga menutupi dada. Semuanya berbeda.
Wajahnya teduh.
Mungkin wajah paling teduh yang pernah kulihat.
***
Monday, at class, school.
Hari ini adalah senin, hari keramat bagiku. Ah tidak, sepertinya bukan hanya aku yang menganggap hari senin hari keramat. Karena beberapa temanku yang lain sibuk mengeluhkan hari ini.
Tahukah kenapa? Yap! Upacara. Upacara menjadi salah satu penyebab utama siswa sekolah ini memberi julukan “Keramat” pada hari senin.
Upacara di sekolah kami ini berbeda dengan upacara dari sekolah lain, jika sekolah lain hanya melaksanakan upacara selama 30-40 menit, sekolahku tempat menuntut ilmu ini malah melaksanakan upacara selama 60 menit. Benar-benar tidak tanggung-tanggung.
Karena itulah, seluruh sekolah akan berguncang heboh jika speaker sekolah mengumumkan pembatalan upacara yang biasanya disebabkan oleh hujan. Dan saat itu terjadi, hari keramat itu dengan cepat beru bah menjadi hari yang paling membahagiakan.
Kemudian alasan lain penyebutan keramat pada hari senin adalah karena semua razia dilaksanakan hari ini. Mulai dari kuku sampai ke rokok yang sering terselip di tas para pria berandal di sekolah ini.
Dan aku, selalu saja terjaring razia “Cantik yang melebihi batas” hehehe bohong ding. Razia yang selalu jadi langgananku adalah kuku. Pasalnya, aku selalu lupa untuk memotong kuku-ku di hari minggu. Karena itu aku selalu kena imbasnya di hari senin.
“Sepertinya hari ini sedikit mendung," ucap salah seorang teman sekelasku dengan nada bahagia yang terdengar jelas dari suaranya.
“Benar. Semoga senin kali ini turun hujan,” sahut temanku yang satunya dengan suara penuh harap.
Memang benar. Hujan menjadi sesuatu yang paling dinanti oleh seluruh murid di sekolah ini jika kalender menunjukkan hari bernama “Senin.”
Aku salah seorang yang mengharapkan turunnya hujan di hari ini. Sejak minggu kemarin doa agar hujan turun sudah mulai ku ucapkan, dan berlanjut hingga hari ini. Dalam hati, aku masih terus berharap hujan akan turun.
Dan doaku terkabul.
Perlahan tapi pasti, gerimis kecil mulai turun sebelum akhirnya berganti menjadi hujan deras. Kemudian disusul oleh suara speaker yang menggema seantero sekolah untuk memberitahu bahwa upacara ditiadakan.
Dan teriakan kebahagian siswa sekolah ini, mengalahkan kuatnya bunyi hujan yang saat ini berhamburan menghantam tanah.
“YEEEEEE!!!!”
***
Tuesday, at home.
06.30 AM
KRIIIINNGG!!!
Aku membuka mataku dengan susah payah dan sukses terbuka lebar ketika melihat angka yang tertera di jam bekerku. Gawat. Gawat. Sudah jam setengah tujuh.
Oh tidak. Aku terlambat bangun lagi. Kebiasan burukku yang satu ini benar-benar sulit sekali dihilangkan. Menyebalkan.
Bangun kesiangan kerap kali menjadi senjata yang membuatku sering datang terlambat ke sekolah. Aku memang selalu bangun jam 5 setiap hari untuk melaksanakan shalat subuh, tapi sering kali, aku selalu melanjutkan tidurku hingga akhirnya terbangun kembali pada jam enam atau jam setengah tujuh. Dan hal inilah yang menjadi biang keladi penyebab keterlambatanku ke sekolah.
Ah, sudah berapa kali aku terlambat bulan ini? Dua kali? Atau tiga kali? Sepertinya lebih dari itu. Orang tua ku pernah sekali dipanggil karena hal ini dan aku mendapatkan ceramah panjang lebar sebagai hadiahnya. Dan ternyata hal itu masih belum cukup untuk membuatku jera bangun kesiangan.
Aku berlari secepat kilat ke kamar mandi. Dan keluar dari sana lima menit kemudian. Bergerak tergesa-gesa menggunakan seragam dan menyisir serta menguncir rambutku serampangan. Aku tak tahu tampak seperti apa aku saat ini. Tapi yang jelas penampilanku saat ini lebih dari sekedar berantakan. Masa bodoh soal kerapian. Hal paling utama yang saat ini harus dipirkan adalah bagaimana caranya agar sampai disekolah tepat waktu. Atau aku akan terlambat dan mendapatkan lambaian surat “Panggilang Orang Tua” lagi dari guru kesiswaan.
Jika hal itu sampai terjadi, bukan hanya ceramah panjang lebar yang akan kudapatkan, tapi juga hukuman-hukuman mengerikan dari ayahku seperti pemotongan uang saku. Jika itu sampai terjadi batal sudah rencanaku untuk membeli novel terbaru. Dan tidak bisa membaca novel adalah hukuman yang kuanggap mengerikan.
Saat ini aku hanya bisa berdoa. Semoga saja pintu gerbang sekolah masih terbuka lebar saat aku sampai nanti.
To Be Continued
***
0 komentar:
Posting Komentar